October 16, 2009

Rock Eval Pyrolysis

Rock Eval Pyrolysis adalah simulasi proses hydrocarbon generation di laboratorium dengan cara melakukan pemanasan bertahap pada sampel batuan induk dalam keadaan tanpa oksigen pada kondisi atmosfer inert dengan temperatur yang terprogram. Pemanasan ini memisahkan komponen organik bebas (bitumen) dan komponen organik yang masih terikat dalam batuan induk (Espitalie et al., 1977). Pemanasan pada sampel batuan dilakukan pada temperatur yang lebih tinggi dari pada kondisi sebenarnya, sehingga dapat dihasilkan hidrokarbon pada waktu yang lebih pendek/cepat.

Rock Eval Pyrolysis Process, After Waples, 1985

Deskripsi Pyrolisis Data :

1. S1, menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam batuan, merupakan kandungan hidrogen bebas yang dapat diuapkan tanpa melalui proses pemecahan kerogen. Nilai S1 mencerminkan jumlah hidrokarbon bebas yang terbentuk insitu (indigeneous hydrocarbon) karena kematangan termal maupun karena adanya akumulasi hidrokarbon dari tempat lain (migrated hydrocarbon).

2. S2, menunjukkan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan melalui thermal degradation/proses pemecahan kerogen yang mewakili jumlah hidrokarbon yang dapat dihasilkan batuan selama proses pematangan secara alamiah selama proses pyrolisis. Ini merupakan indikator yang paling penting dari kerogen dalam menghasilkan hidrokarbon. Harga S1 dan S2 diukur dalam satuan mg hidrokarbon/gram batuan (mg HC/g Rock).

3. Tmax, adalah temperatur dimana terjadi puncak nilai S2 terjadi. Ini menggambarkan temperature at peak generation.

4. S3, menggambarkan jumlah karbon dioksida dalam kerogen yang berhubungan dengan jumlah oksigen dalam kerogen. Kandungan oksigen yang tinggi berhubungan dengan woody-cellulosic source material atau proses oksidasi yang kuat selama diagenesis, kandungan oksigen yang tinggi dari kerogen adalah indikator negatif dari hydrocarbon source potential.

After Merrill, 1991

Kombinasi parameter – parameter yang dihasilkan oleh Rock-Eval Pyrolisis dapat digunakan sebagai indikator jenis serta kualitas batuan induk, yaitu :

a. Potential Yield (S1 + S2)

Potential Yield (PY), assuming immature sample, menunjukkan jumlah hidrokarbon dalam batuan baik yang berupa komponen bebas maupun yang berupa kerogen. Satuan ini dipakai sebagai penunjuk jumlah total hidrokarbon maksimum yang dapat dilepaskan selama proses pematangan batuan induk dan jumlah ini mewakili generation hydrocarbon source potential.

b. Production Index (PI)

Jumlah hidrokarbon yang tersedia untuk produksi. Nilai PI menunjukkan jumlah hidrokarbon bebas relatif (S1) terhadap jumlah total hidrokarbon yang hadir (S1 + S2). PI dapat digunakan sebagai indikator tingkat kematangan batuan induk. PI meningkat karena pemecahan kerogen sehingga S2 berubah menjadi S1.

c. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI)

HI merupakan hasil dari S2 x 100/%TOC dan OI adalah S3 x 100/%TOC. Kedua parameter ini harganya akan berkurang dengan naiknya tingkat kematangan. Harga HI yang tinggi menunjukkan batuan induk didominasi oleh material organik yang bersifat oil prone, sedangkan nilai OI tinggi mengindikasikan dominasi material organik gas prone. Waples (1985) menyatakan nilai HI dapat digunakan untuk menentukan jenis hidrokarbon utama dan kuantitas relatif hidrokarbon yang dihasilkan.

Penentuan tipe kerogen berdasarkan analisa Rock Eval Pyrolisis dapat dilakukan dengan memplot nilai – nilai HI dan OI pada diagram "pseudo" van Krevelen, atau dengan menggunakan plot HI – Tmax.

Modified van Krevelen Diagram

Material organik yang menghasilkan hidrokarbon tidak hanya memiliki unsur karbon saja, namun haruslah berasosiasi dengan unsur hidrogen. Jadi tidak selalu sample yang mempunyai unsur dominan karbon dianggap sebagai good source rock, tetapi terdapat unsur hidrogen sebagai pembentuk hidrokarbon. Makin banyak unsur hidrogen berikat dengan karbon justru akan makin banyak menghasilkan hidrokarbon.

Kombinasi plot antara nilai TOC dan nilai S2 saat ini merupakan metode terbaik dalam mengetahui kualitas material organik yang berasosiasi dengan seberapa banyak kandungan hidrogen dalam material organik tersebut. Sehingga nilai S2 tinggi sudah pasti mencerminkan good source rock yang akan menghasilkan lebih banyak hidrokarbon.

Studi Kasus (Courtesy Ian Sayers, AWE Ltd) :

Source Rock Parameters and total gas.
Potential Source Rock Intervals Highlighted
.


HI-TMax Plot Rock-Eval Samples

Analisa geokimia telah dilakukan dari dari beberapa shale samples didalam Formasi Kujung II dan Kujung III. High gas readings nampak coklat tua hingga abu-abu/shales abu-abu tua didalam Formasi Kujung II dari 7300-7750 ftMDRT. Shale ini memiliki good-excellent potential dengan TOC 3.8 & 4.5% dan potential yield (S1 + S2) antara 11 and 14 mg/g rock.
Hidrogen Index (HI) 260 - 280 mg/g TOC menunjukkan mixed Type II/Type III source rock yang mungkin merupakan gas prone dengan beberapa oil potential. Dikonfirmasi dengan analisa visual dari kerogen dimana hanya 11-15% yang diidentifikasi sebagai oil-prone. Sampel sisa dianalisa dari bagian paling bawah Kujung II and Kujung III yang hanya mempunyai poor to fair potential for gas dengan nilai TOC antara 1-2%, potential yield (S1 + S2) kurang dari 3 mg/g rock dan Hidrogen Index (HI) kurang dari 150 mg/g TOC. Ini mungkin dikarenakan higher gas readings didalam Kujung III dari 8070-8185 ftMDRT berhubungan dengan kualitas source lebih baik.

October 15, 2009

Multi-attribute Analysis

Metoda Multiatribut seismik adalah salah satu metoda statistik menggunakan lebih dari satu atribut untuk memprediksi beberapa properti fisik dari bumi. Pada analisa ini dicari hubungan antara log dengan data seismik pada lokasi sumur dan menggunakan hubungan tersebut untuk memprediksi atau mengestimasi volume dari properti log pada semua lokasi pada volume seismik.

Statistik dalam karakteristik reservoir digunakan untuk mengestimasi dan mensimulasikan hubungan spasial variabel pada nilai yang diinginkan pada lokasi yang tidak mempunyai data sampel terukur. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang sering terjadi di alam bahwa pengukuran suatu variabel di suatu area yang berdekatan adalah sama.
Kesamaan antara dua pengukuran tersebut akan menurun seiring dengan bertambahnya jarak pengukuran. Schultz et al. (1994) mengidentifikasi tiga sub-kategori utama pada teknik analisa multi-atribut geostatistik, yaitu:
1. Perluasan dari co-kriging untuk melibatkan lebih dari satu atribut sekunder untuk memprediksi parameter utama.
2. Metode yang menggunakan matriks kovariansi untuk memprediksi suatu parameter dari atribut input yang telah diberi bobot secara linear.
3.
Metode yang menggunakan Artificial Neural Network (ANN) atau teknik optimisasi non-linear untuk mengkombinasikan atribut-atribut menjadi perkiraan dari parameter yang diinginkan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam multiatribut seismik:
1. Melakukan pengikatan data sumur dengan data seismik (well-seismic tie) dan menentukan properti log yang akan digunakan.
2. Log filtering, agar data log memiliki rentang frekuensi yang sama dengan rentang frekuensi seismik, contoh dilakukan bandpass filtering dengan frekuensi 2-10-45-65 Hz.
3. Menentukan atribut mana saja yang akan digunakan dalam prediksi log ini, sehingga dilakukan training terhadap log target dengan beberapa atribut seismik. Parameter untuk menentukan kelompok atribut seismik terbaik yang akan digunakan untuk memprediksi log target adalah nilai prediksi error dan validasi error. Nilai prediksi error akan menurun sejalan dengan jumlah atribut yang digunakan (semakin banyak jumlah atribut yang digunakan maka nilai prediksi errornya akan semakin kecil).
4. Krosploting antara log prediksi dengan log target.
5. Membuat volume multiatribut.

Courtesy Hampson Russel Software (Emerge Workshop)

Gambar 1, dilakukan analisa multiatribut untuk memprediksi atau mengestimasi volume properti log p-wave, dipilih maximum number of attributes sebanyak 7 buah.
Gambar 2, nilai training error menurun sejalan dengan jumlah atribut yang digunakan, sebagaimana yang diharapkan. Saat kita menggunakan lebih dari more 6 attributes, validasi Error meningkat, berarti data atribut tambahan menyebabkan data mengalami over-fitting.
Gambar 3, krosplot antara predicted p-wave vs actual p-wave, dengan nilai koefisien korelasi 71 %.
Gambar 4,
hasil multi-attribute transform disetiap log target.
Gambar 5, hasil akhir volume p-wave yang dihasilkan melalui analisis multiattribut. Perhatikan fitur channel terlihat dengan baik pada bagian tengah dan fit dengan kurva p-wave.
Slide 87

October 8, 2009

Spectral Decomposition

Dalam dunia eksplorasi migas sering ditemui kendala dalam interpretasi. Salah satunya apabila gelombang seismik melalui lapisan tipis, akan terjadi tuning effect sehingga Top dan Bottom batas lapisan tipis tidak dapat terdeteksi dengan baik, dimana yang seharusnya terdapat dua lapisan hanya akan terlihat seperti satu lapisan saja, sehingga sulit untuk menginterpretasi penyebarannya secara lateral.

Tuning effect (Partyka, Gridley, and Lopez, 1999)

Selain itu dikarenakan penampang normal seismik yang mempunyai rentang frekuensi gelombang pada umumnya 10-70 Hz (dalam kisaran), dengan frekuensi dominan sekitar 30Hz, sehingga fitur geologi yang ingin dilihat menjadi tertutupi, karena pada frekuensi yang berbeda akan menampilkan fitur geologi yang berbeda pula, karena pada hakikatnya sifat geologi seperti ketebalan, kandungan fluida, dll hanya akan dilihat lebih pada level frekuensi tertentu/frekuensi tunggal.

Sehingga dilakukan proses dekomposisi terhadap spektrum frekuensi / dicari satu frekuensi yg berasosiasi (misal 12 Hz, 14 Hz, dsb) dengan fitur tertentu.

Spectral Decomposition adalah salah satu jenis atribut frekuensi yang digunakan untuk imaging dan memetakan temporal bed thickness dan geologic discontinuities pada survei 3D. Teknik ini dapat meningkatkan definisi prospek melewati resolusi tuning seismik dan dapat membantu memecahkan apa yang tidak bisa diselesaikan dalam domain waktu. Manfaat atribut spectral decomposition :
- Delineasi facies / setting stratigrafi (seperti flood plane boundaries, reef boundaries, channel sands, incised valley-fill sands, dan lapisan tipis lainnya)
- Mengetahui arah pengendapan
- Pemetaan struktur secara detail termasuk sistem sesar kompleks

Spectral Decomposition mengubah data seismik ke domain frekuensi dengan menggunakan Discrete Fourier Transform (DFT) atau Maximum Entropy Method (MEM). Pengubahan (fasa bebas) spektrum amplitudo digunakan untuk mendelineasi variasi ketebalan lapisan, sedangkan spektrum fasa digunakan untuk mengindikasikan ketidakmenerusan geologi secara lateral. Teknik ini telah terbukti menjadi suatu pendekatan yang sempurna dalam estimasi ketebalan dan identifikasi sesar (Landmark Software).

Tuning Cube
Merupakan zone of interest hasil transformasi dari domain waktu ke domain frekuensi dengan Discrete Fourier Transform.
Konsep analisa tuning cube adalah refleksi dari lapisan tipis mempunyai karakteristik tersendiri dalam domain frekuensi. Karakteristik ini mengindikasikan temporal bed thickness.

Untuk melakukan proses tuning cube, langkah yang harus dilakukan adalah memilih window analysis pada cube seismik yang akan menjadi area of interest, selanjutnya data seismik dalam domain waktu ditransformasikan melalui DFT ke dalam domain frekuensi.

Zone of interest tuning cube (Partyka, 1999)

Saat gelombang seismik melalui lapisan pasir yang tipis, dihasilkan suatu gelombang yang terdiri dari dua wavelet hasil interferensi Top dan Bottom lapisan. Wavelet hasil interferensi top lapisan dengan lapisan diatasnya merupakan trough karena gelombang seismik memasuki lapisan yang lebih porous sehingga reflektifitas (RC) bernilai negatif. Sedangkan hasil interferensi bottom lapisan dengan lapisan dibawahnya merupakan peak sehingga reflektifitas (RC) bernilai positif. Refleksi gelombang tersebut menyimpan informasi temporal bed thickness lapisan pasir tipis, yang jika ditransformasikan dan dihasilkan spektrum amplitudo dalam domain frekuensi, maka perioda dominan pada domain frekuensi (Pf) itu merupakan 1/temporal thickness lapisan tipis tersebut (Partyka, 1999).

Interferensi spektral (Partyka,1999)

Dibawah ini adalah contoh perbandingan antara conventional amplitude slice (a) dan amplitude slice hasil spectral decomposition pada frekuensi 16 Hz (b), terlihat bahwa channel B dapat terlihat lebih baik dengan amplitude slice pada frekuensi 16 Hz (Partyka,1999).

Sedangkan, dibawah ini adalah contoh perbandingan antara conventional phase slice (c) dan phase slice hasil spectral decomposition pada frekuensi 26 Hz (d), terlihat bahwa fault dapat dilihat lebih baik dengan phase slice pada frekuensi 26 Hz (Partyka,1999).


October 6, 2009

Petroleum System

Komponen geologi dan berbagai proses mulai dari terbentuknya hidrokarbon pada source rocks hingga terakumulasi. Komponen-komponen tersebut adalah batuan sumber/source rocks, maturasi, reservoir, migrasi, perangkap/trap, dan batuan penyekat/seal .

1) Source Rocks
Source rocks atau batuan induk adalah endapan sedimen yang mengandung material organik yang apabila terpanaskan menghasilkan minyak dan gas bumi. Material organik yang terdapat pada endapan sedimen tersebut dinamakan kerogen.

Berdasarkan komposisi unsur-unsur kimia yaitu karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O), pada awalnya kerogen dibedakan menjadi 3 tipe utama yaitu kerogen tipe I, tipe II, dan tipe III, yang selanjutnya ditemukan kerogen tipe IV.

1. Kerogen tipe I (oil prone), memiliki perbandingan atom H/C tinggi dan perbandingan atom O/C rendah. Biasa terbentuk pada lingkungan air dangkal seperti lagoon dan danau. Kerogen tipe ini menunjukkan kecenderungan menghasilkan hidrokarbon cair atau minyak.

2. Kerogen tipe II (oil & gas prone), memiliki perbandingan atom H/C tinggi (1,2 – 1,5), sedangkan perbandingan atom O/C relatif rendah (0,1 – 0,2). Tipe kerogen ini terbentuk dari alga laut, fosil dan lemak tanaman. Memiliki kandungan hidrogen tinggi dan oksigen rendah. Terkadang juga sering ditemukan unsur sulfur dalam jumlah besar, sehingga dikelompokkan lagi menjadi kerogen tipe II-S dengan berat belerang organik 8-14% dan perbandingan S/C > 0,04. Tipe ini merupakan bahan utama minyak bumi serta gas.

3. Kerogen tipe III (gas prone), memiliki perbandingan atom H/C relatif rendah dan perbandingan atom O/C tinggi. Memiliki kandungan hidrogen rendah sedangkan oksigen tinggi. Tipe ini memiliki kecenderungan membentuk gas (gas prone) dan sedikit minyak.

4. Kerogen tipe IV (inert), tersusun material rombakan berwarna hitam dan opaque, terbentuk oleh bahan tanaman yang teroksidasi, Tipe ini tidak memiliki kecenderungan menghasilkan minyak dan gas.
Plot perbandingan atom O/C vs H/C (Van Kravelen, 1961)

Slide 16
Slide 10Kandungan kerogen dari batuan induk dikenal dengan TOC (Total Organic Carbon), TOC dari suatu batuan induk pada umumnya diatas 1%, idealnya antara 2,5 - 5 %, dibawah ini adalah ukuran TOC dari suatu batuan induk :


2) Maturasi (tingkat kematangan)
Maturasi adalah proses perubahan secara biologis, fisika, dan kimia dari kerogen menjadi hidrokarbon. Proses maturasi berawal sejak endapan sedimen yang kaya bahan organik terendapkan. Pada tahapan ini, terjadi reaksi pada temperatur rendah yang melibatkan bakteri anaerobik yang mereduksi oksigen, nitrogen dan belerang sehingga menghasilkan konsentrasi hidrokarbon.

Proses ini terus berlangsung sampai suhu batuan mencapai 50° celcius. Selanjutnya, efek peningkatan temperatur menjadi sangat berpengaruh sejalan dengan tingkat reaksi dari bahan-bahan organik kerogen, karena temperatur terus mengingkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman, efek pemanasan secara alamiah ditentukan oleh seberapa dalam batuan induk tertimbun (gradien geothermal). Slide 48

Maturasi terjadi pada batuan induk yang mencapai kondisi (tekanan & temperatur) tertentu atau biasa dinamakan kitchen, apabila batuan induk sudah matang, hidrokarbon akan mengalami gaya bouyancy untuk selanjutnya bermigrasi.

Pada temperatur diatas 50°C minyak dapat dihasilkan atau pada kedalaman sekitar 1000 m lalu terhenti pada suhu 150°C atau pada kedalaman sekitar 5000 m. Sedangkan pada temperatur tinggi diatas 150°C hanya menyisakan gas terutama methane (dry gas) yang terbentuk secara signifikan sejalan dengan bertambahnya temperatur & kedalaman.
Gambar di bawah menunjukkan skema maturation modelling, dari penampang ini dapat diprediksikan apakah berada dalam oil/gas window.

3) Migrasi
Migrasi adalah proses transportasi hidrokarbon dari batuan sumber menuju reservoir. Proses migrasi berawal dari migrasi primer (primary migration), yakni transportasi dari batuan induk ke batuan reservoir lapisan penyalur (carrier bed). Lalu diikuti oleh migrasi sekunder (secondary migration), yakni migrasi dalam batuan reservoirnya itu sendiri menuju tempat akumulasi.
4) Reservoir
Reservoir adalah batuan yang mempunyai poroitas dan permeabilitas yang baik untuk menyimpan dan mengalirkan fluida.

Jenis reservoir umumnya batu pasir dan batuan karbonat dengan porositas 15-30% (baik porositas primer maupun sekunder) serta permeabilitas minimum sekitar 1 mD (mili Darcy) untuk gas dan 10 mD untuk minyak ringan (light oil).

5) Trap (perangkap)
adalah suatu keadaan yang dapat menyebabkan terjebaknya/terakumulasinya hidrokarbon.
Dibawah ini adalah jenis-jenis perangkap hidrokarbon :

6) Seal (Batuan penyekat)
Seal adalah batuan penyekat yang bersifat impermeabel, biasanya merupakan batu serpih/shale, anhydrite dan garam, membentuk barrier atau penutup diatas maupun disekitar reservoir.
Slide 51
Slide 48

October 4, 2009

Tektonik Lempeng

Bermula dari berabad-abad yang lalu, ketika beberapa pengamat peta bumi menunjukkan adanya kesamaan bentuk garis pantai timur Amerika selatan dan Afrika barat. Diantaranya adalah Sir Francis Bacon (1620), lalu Antonio Schneider Pellegrini (1855) menunjukkan bahwa kedua benua ini bersatu. Akibatnya timbullah pemikiran bahwa semula kedua benua itu bersatu dan akhirnya berpisah.

Alfred Wegener (1912), mengumumkan konsep Apungan Benua (Continental Drift), dalam monografi The origin of Continents and Oceans. Hipotesis utamanya adalah adanya satu super kontinen yang dinamakan Pangea (artinya semua daratan) yang dikelilingi Panthalassa (semua lautan). Sekitar 200 juta tahun yang lalu super kontinen ini pecah menjadi benua-benua yang lebih kecil. Pada masa itu terjadi pro-kontra akan teori ini, bagaimana suatu massa benua yang besar bisa mengapung dan bergerak diatas bumi yang padat, dan pada saat itu belum adanya bukti-bukti yang mendukung teori tersebut, sehingga Wegener mengumpulkan bukti-bukti untuk mendukung hipotesanya selain kesamaan garis pantai, dijumpai pula kesamaan fosil, struktur dan batuan.

A du Toit (1937), mempunyai pemikiran bahwa semula ada dua super kontinen, disebelah utara dinamakan Laurasia (Amerika utara, Greenland, Eropa, dan Asia). Sedangkan di bagian selatan dinamakan Gondwana (Amerika selatan, antartika, afrika, madagaskar, india, dan australia). Kedua super kontinen ini dipisahkan oleh samudera Paleo Tethys.

Sejarah Perkembangan Bumi

Teori Tektonik Lempeng adalah teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk memberi penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan skala besar yang dilakukan oleh litosfer bumi, teori ini telah mencakup dan juga menggantikan teori Continental Drift yang lebih dahulu dikemukakan pada paruh pertama abad ke-20.

Prinsip kunci Tektonik Lempeng adalah adanya lempeng litosfer yang padat dan kaku "terapung" diatas selubung bagian atas yang bersifat plastis. Bagian selubung bagian atas mendekati lebur atau dapat dikatakan hampir cair, sehingga masuk akal bila litosfer mengapung diatasnya.

Kerak bumi dan selubung teratas bersifat padat disebut litosfer, ketebalan litosfer ini tidak sama diseluruh permukaan bumi. Dibawah samudera tebalnya sekitar 50 km, sedangkan dibawah benua sekita 100 km. Lapisan dibawahnya adalah astenosfer yang artinya lapisan lentur, tidak kaku, bersifat plastis. Lapisan ini sampai kedalaman 500 km didalam selubung. Plastisitas bagian atas lapisan ini dikarenakan sifatnya yang hampir melebur (partial melting).
Susunan Bumi

Di bumi, terdapat tujuh lempeng utama dan banyak lempeng-lempeng yang lebih kecil. Lempeng-lempeng litosfer ini menumpang di atas astenosfer. Mereka bergerak relatif satu dengan yang lainnya di batas-batas lempeng secara :
1) Divergen, lempeng-lempeng bergerak saling menjauh, mengakibatkan material dari selubung naik ke atas dan membentuk lantai samudera baru.
2) Konvergen, lempeng-lempeng bertemu menyebabkan salah satu lempeng masuk ke selubung menyusup dibawah yang lain.
3) Transform, lempeng saling bergesekan, bergerak sejajar namun berlawanan arah.
Tiga jenis batas lempeng (Courtesy Wikipedia Indonesia)

Mengapa lempeng bergerak ?
Belum diketahui penyebab secara pasti, namun yang banyak diterima saat ini adalah adanya arus konveksi pada selubung atau mantel. Energi panas dalam hal ini adalah panas bumi. Panas bumi tidak tetap tersimpan di pusat bumi, melainkan menyebar keluar sepanjang waktu. Berarti bumi mendingin dengan cepat dan kehilangan panasnya yang terkonsentrasi akibat gravitasi puluhan juta tahun yang lalu. Panas dari dalam akan keluar dengan cepat, akan tetapi karena cara konduksi dan radiasi panas melalui batuan sangatlah lambat, maka cara yang cepat adalah konveksi panas yang melambatkan gerak cairan.

October 3, 2009

AVO Attribute

Untuk memahami konsep AVO Attributes, lihat pada materi Teori Dasar AVO yang merupakan pendekatan terhadap persamaan teoritis Zoeppritz. Persamaan-persamaan AVO tersebut diantaranya: Shuey, Wiggins, Verm-Hilterman, Fatti, Smith & Gidlow yang umumnya merupakan fungsi amplitudo terhadap sudut datang (θ).
Shuey :

Wiggins :

Verm-Hilterman :

Fatti:

Smith & Gidlow
:

Dari persamaan-persamaan AVO di atas, maka kita akan memperoleh AVO Attributes seperti :
1) Intercept (A), merepresentasikan reflektivitas gelombang-P pada sudut nol, dan bisa ditulis :
2) Gradient (B), menyatakan perubahan amplitudo sebagai fungsi dari offset.

3) Product (A*B), perkalian dari intercept (A) dan gradient (B).
4) Scaled Poisson’s Ratio Reflectivity, atribut ini didefinisikan oleh Smith dan Gidlow, sebagai :

sehingga :

Dan :

5) Scaled S wave Reflectivity (aA-bB) [Hampson-Russell],
dimana a dan b adalah konstanta.
6) Rp-Rs ~ (A+B)/2
7) Rs ~ (A-B)/2
8) Normal Intercept (NIp)
9) Poisson Reflectivity (PR)
10) Fluid Factor (ΔF)

Rp merupakan zero offset P-wave reflectivity dan Rs merupakan zero offset S-wave reflectivity.

Didapat dari paper "Exploitation of an oil field using AVO and post-stack rock property analysis methods, Andrew J Royle" :

3D Seismic Volume pada crossline 56 dan inline 78

Product (Intercept*Gradient) Volume pada crossline 56 dan inline 78

Respon AVO dapat dilihat pada level Colony, terlihat anomali "bright spot" pada nilai product (A*B) positif/warna merah yang menunjukkan peningkatan amplitudo seiring bertambahnya offset, sehingga dapat diklasifikasikan kedalam anomali AVO kelas 3.

Teori Dasar AVO

AVO pada awalnya ditujukan untuk memvalidasi anomali amplitudo pada seismik yang berasosiasi dengan kehadiran gas pada reservoir (Ostrander,1982). Anomali amplitudo terjadi karena penurunan nilai koefisien refleksi gelombang seismik secara drastis dari top lapisan mengandung gas bila dibandingkan dengan koefisien refleksi lapisan-lapisan disekitarnya. Hal ini dinamakan bright spot. Dalam prakteknya tidak semua bright spot menunjukan kehadiran gas karena seperti batubara, lapisan yang sangat berpori ataupun rekah-rekah, lapisan garam, konglomerat, turbidit, dan tuning effect dari lapisan-lapisan tipis dapat menunjukkan anomali tersebut pada penampang seismik. Oleh karena itulah AVO dikembangkan dalam meminimalisir ambiguitas tersebut.

Anomali Bright spot, Courtesy Hampson Russel

Prinsip dasar AVO awalnya berasal dari suatu anomali, yaitu bertambahnya amplitudo sinyal refleksi terhadap pertambahan jarak sumber gelombang seismik ke penerima (offset), apabila gelombang seismik dipantulkan oleh lapisan batuan berisi gas. Jarak sumber ke penerima ini (offset) berhubungan dengan sudut datang sinar seismik terhadap bidang pemantulan. Semakin besar offset maka semakin besar pula sudut datangnya.

AVO muncul akibat adanya partisi energi pada bidang reflektor. Sebagian energi dipantulkan dan sebagian lainnya ditransmisikan. Ketika gelombang seismik menuju batas lapisan pada sudut datang tidak sama dengan nol maka konversi gelombang P menjadi gelombang S terjadi. Sebagai konsekuensinya, koefisien refleksi menjadi fungsi dari kecepatan gelombang (Vp), kecepatan gelombang S (Vs), densitas (ρ) dari setiap lapisan, serta sudut datang (θ1) sinar seismik. Oleh karena itu terdapat empat kurva yang dapat diturunkan yaitu : amplitudo refleksi gelombang P, amplitudo transmisi gelombang P, amplitudo refleksi gelombang S, dan amplitudo transmisi gelombang S seperti yang ditunjukan dalam gambar dibawah ini.

Berdasarkan Hukum Snellius :
sin (θ1)/Vp1 = sin (θ2)/Vp2 = sin (Ф1) /Vs1 = sin (Ф2)/Vs2

Sedangkan amplitudo tiap gelombang pada bidang batas diperkenalkan oleh Zoeppritz yang menggambarkan koefisien refleksi dan transmisi sebagai fungsi dari sudut datang pada media elastik (densitas, kecepatan gelombang-P/Vp, kecepatan gelombang-S/Vs). Knott dan Zeoppritz melakukan analisa koefisien refleksi berdasarkan hal tersebut dan persamaannya dapat dituliskan dalam bentuk persamaan matriks :
dimana :
A = amplitudo gelombang P refleksi
; θ1 = sudut datang gelombang P
B = amplitudo gelombang S refleksi
; θ2 = sudut bias gelombang P
C = amplitudo gelombang P transmisi
; Ф1 = sudut pantul gelombang S
D = amplitudo gelombang S transmisi
; Ф2 = sudut bias gelombang S
α = kecepatan gelombang P
β = kecepatan gelombang S
ρ = densitas

Kemudian Aki, Richards dan Frasier melakukan pendekatan terhadap persamaan Zoeppritz menjadi tiga bentuk, bentuk pertama mengikutkan densitas, bentuk kedua mengikutkan Vp dan bentuk ketiga mengikutkan Vs.
dimana :

October 2, 2009

Klasifikasi Anomali AVO

Model dasar untuk anomali AVO dapat diilustrasikan menggunakan model lapisan gas sand diantara dua shale.
Nilai Poisson Ratio untuk gas sand lebih kecil dibandingkan shale, dan nilai koefisien refleksi berubah secara drastis terhadap sudut datang gelombang. Amplitudo bernilai negatif pada near offset dan menjadi lebih negatif pada far offset, yang mana dinyatakan dengan nilai amplitudo absolut yang meningkat pada large offset.

Klasifikasi Anomali AVO (Amplitude Versus Offset) oleh Rutherford dan Williams (1989) dibagi menjadi 3 kelas lalu disempurnakan oleh Castagna (1997) yang menambahkan satu kelas lagi, yaitu kelas IV. Dibuat klasifikasi gas sand berdasarkan respon koefisien refleksi yang dihasilkan oleh batas shale dan top gas sand terhadap sudut datang gelombang.

Empat Klasifikasi Anomali AVO
(Rutherford & Williams, modified by Castagna)


Kelas I : High Acoustic Impedance Contrast
Menunjukkan tipe gas sand yang mempunyai acoustic impedance tinggi dibandingkan medium yang mengapitnya, sehingga didapat koefisien refleksi positif besar pada sudut datang gelombang sama dengan nol (zero angle/offset), koefisien refleksi menurun dengan bertambahnya sudut datang, decrease in amplitude (dimming effects) with increasing offset.Kelas II : Near Zero Impedance Contrast
Tipe gas sand yang mempunyai acoustic impedance hampir sama dibandingkan medium yang mengapitnya, sehingga didapat koefisien refleksi yang mendekati nol pada sudut datang gelombang sama dengan nol (zero angle/offset) dan mendekati negatif pada large offset, koefisien refleksi menurun dengan bertambahnya sudut datang.
Kelas IIp : Sama seperti kelas II, hanya terjadi pembalikan polaritas, yaitu koefisien refleksi bernilai positif pada zero angle/offset.

Kelas III : Low Impedance Contrast
Tipe gas sand mempunyai acoustic impedance rendah dibandingkan medium yang mengapitnya, sehingga didapat koefisien refleksi yang negatif besar pada sudut datang gelombang sama dengan nol (zero angle/offset), koefisien refleksi semakin negatif dengan bertambahnya sudut datang. Tipe gas ini adalah tipe gas klasik dimana amplitudonya semakin besar (brightening) seiring bertambahnya sudut datang.
Kelas IV : Very Low Impedance Contrast
Tipe gas sand mempunyai acoustic impedance rendah dibandingkan medium yang mengapitnya, sehingga didapat koefisien refleksi yang negatif besar pada sudut datang gelombang sama dengan nol (zero angle/offset), tetapi nilai koefisien refleksi meningkat dengan bertambahnya sudut datang.
Contoh AVO Modelling untuk Top & Base Colony Horizon :
Amplitude vs Offset untuk Colony picks :
Anomali AVO diamati pada Top (trough)/warna merah dan base (peak)/warna biru Colony horizon, terlihat bahwa terjadi kenaikan trough amplitude pada Top Colony walaupun anomali tidak begitu kuat terlihat, sehingga ini dapat diklasifikasikan sebagai anomali AVO kelas 3 dengan kenaikan amplitudo seiring bertambahnya sudut datang.