February 23, 2010

Origin & Geological Controls on Subsurface CO2 Distribution (Ex.Western Indonesia)

CO2 merupakan zat kontaminan baik untuk reservoir karbonat maupun klastik. CO2 adalah faktor utama dalam menerka kandungan prospek, karena itu tidak hanya menurunkan volume dari keberadaan hidrokarbon, tapi juga secara signifikan meningkatkan development cost karena sifatnya yang korosif. Sehingga, problem dalam memprediksi keberadaan CO2 adalah sangat penting.

Potential Sources of CO2 in the Subsurface

Jumlah signifikan dari CO2 dapat dihasilkan dari variasi sumber organik maupun inorganik (Gambar 1). Secara organik maupun inorganik sumber CO2 dapat dibedakan pada banyak kasus dengan menggunakan analisa karbon isotop.

Gambar 1. Sumber potensial dari keberadaan CO2 dibawah permukaan

Organic Sources
Bahan organik terkubur mengalami modifikasi melalui biogenic (diagenesis) dan selanjutnya alterasi termal (katagenesis). CO2 dihasilkan atau terdapat pada kebanyakan dari proses ini.

a. CO2 dari proses biogenic

Bakteri sangat mempengaruhi degradasi material organik. Reaksi aerobik terjadi menyediakan suplai kontinu dari oksigen (O2) yang ada. Dekat permukaan ini dicapai dengan difusi melewati kolom air. Pada kedalaman yang sangat dalam, O2 terlarut dihasilkan melalui akuifer aktif. Dimana HC terperangkap dalam area dimana akuifer dapat sebagian teroksidasi, dengan CO2 sebagai produk.

Sekali oksigen telah digunakan untuk proses anaerobic. Terjadi mediasi oleh berkurangnya sulfat dan bakteri methanogenic. Proses seperti ini berlanjut hingga temperatut 60-70 derajat C, dimana aktifitas bakteri berhenti.

b. CO2 dari thermal breakdown of kerogen

Pada temperatur > 70 derajat C, thermal breakdown dari material organik terjadi. Pada 75-120 derajat C, sebelum HC generation, CO2 adalah produk utama dari kerogen breakdown (Gambar 2). Tipe II (Humic) Kerogen mempunyai large CO2 generative potential dan secara teori dapat menghasilkan jumlah yang sama dengan CO2 dan Methane (CH4), dimana tipe I (algal) Kerogen mempunyai small CO2 generative potential karena rendahnya kandungan dari molekul oksigen (Saxby, 1977).

Gambar 2. Generation of gases dari material organik dengan peningkatan temperatur (After Hunt, 1996)

Dimana coals adalah source rock HC utama atau adanya interbedded pada sand reservoir pada temperatur 75-120 derajat C, seperti halnya pada kasus di kebanyakan Cekungan Asia Tenggara, jumlah kontaminasi CO2 dapat diharapkan. Ini tergantung pada jumlah & tipe coal serta rute migrasi gas diantara coal dan reservoir yang 40% CO2 dihasilkan dari coals seperti Kapanui Field, Taranaki Basin, New Zealand.


c. CO2 dari berkurangnya sulfat thermokimia

Pada temperatur > 140 derajat C, HC dapat bereaksi dengan mineral sulfat (Orr, 1975). Co2 menjadi salah satu produk. Namun, jumlah CO2 yang dihasilkan sangatlah kecil.

d. Karbon isotope secara organik menghasilkan CO2

Saat kerogen breakdown beberapa fraksi carbon terjadi. Bakteri CO2 memunyai range yang lebar (15- (-30) perseribu). Reduksi sulfat akan menghasilkan CO2 lebih berat dari organic source (Clayton, 1995). CO2 yang dihasilkan oleh maturasi termal dari kerogen mempunyai range carbon isotop -10 - -25 perseribu (Thrasher dan Fleet, 1995), tergantung baik dari derajat kematangan dan rasio isotop carboxyl grup dari kerogen (Clayton, 1995).

Inorganic sources

a. CO2 dari mantle degassing

Keluarnya CO2 dari mantel membutuhkan suatu intrusi atau ekstrusi atau fault yang berpenetrasi secara dalam. Ini konsisten dengan CO2 discharges dan zona tektonik aktif.

b. CO2 dari metamorphic mineral reactions

CO2 dapat dihasilkan secara regional atau dari kontak metamorfisme karbonat. Perbedaan mineral silikat dan air bereaksi dengan karbonat yang mengeluarkan CO2 dalam range temperatur yang lebar, minimum sebesar 300 derajat C untuk sistem zeolite-calcite (Winkler, 1965). Temperatur dimana reaksi terjadi tinggi pada masa sedimen, meskipun ini dapat dicapai pada deep basin atau saat geothermal gradien sangat tinggi. Kehadiran sirkulasi fluida hidrotermal dan/atau intrusi dapat mempengaruhi pada peningkatan temperatur secara lokal.

c. CO2 dari reaksi diagenetis mineral - karbonat

Secara teori CO2 dapat dihasilkan dengan dekomposisi karbonat pada temperatur lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk reaksi metamorphic. Kissin dan Pakhomov (1967) melakukan reaksi batuan karbonat yang berbeda-beda dengan air distilasi pada 75-250 derajat C. Mereka menyimpulkan bahwa (1) pure limestones menghasilkan jumlah kecil dari CO2 dimana argillaceous dolomites, clays, mengandung beberapa persen karbonat dan siderit mempunyai kadar CO2 lebih besar dan (2) CO2 production rates meningkat secara cepat dengan peningkatan temperatur diatas 150 derajat C, meningkatnya temperatur mempunyai efek lebih lanjut pada kandungan CO2 (Gambar 3). Jika reaksi-reaksi tersebut terjadi di alam, maka terdapat potensi sumber CO2 pada cekungan sedimen dimana impure carbonates terjadi pada temperatur > 150 derajat C.

Gambar 3. Generation of CO2 saat batuan yang berbeda direaksikan dengan distilled (1-9) dan sea (10) water (after Kissin & Pakhomov, 1967)

d. CO2 dari reaksi diagenetis mineral - klastik

Kesetimbangan kimia inorganik antara feldspar, lempung, dan mineral karbonat memerlukan dissolution of carbonate dengan produksi CO2 pada temperatur > 100-120 derajat C (Smith & Ehrenberg, 1989). Diatas temperatur ini, mereka menemukan hubungan linear antara logPCO2 dan temperatur dari data Texas Gulf Coast dan Norwegian North Sea (Franks & Forester, 1984; Smith & Ehrenberg, 1989). Reeves dan Sulamen menemukan hubungan linear yang sama pada reservoir klastik di North Sumatera Basin.

Basin Plumbing

a. Migration Pathways

Gunung api sangat mungkin menjadi konduit untuk mantle CO2. Namun pengaruhnya masih belum jelas dan mungkin lebih terkait dengan distribusi fault flumbing, daripada ukuran, lokasi dan tipe dari gunung api itu sendiri. Cunda A#5 (N. Sumatera) berada 25-50 km dari gunung api, tapi menunjukkan tidak ada bukti kontaminasi dengan gas yang berasal dari mantel, dimana Pamanukan #2 (onshore NW. Jawa), berada pada jarak yang sama dari aktivitas vulkanik, terdapat bukti kontaminasi gas. Pamanukan #2 berada pada puncak dari major fault yang memanjang kearah volcanic area.

Major crustal faults harus ada pada transportasi CO2 baik dari mantel atau melalui metamorfisme regional dari basement. Lapangan Kuala Langsa (N.Sumatera), mempunyai kandungan CO2 80%, juga berada pada puncak major fault, seperti perangkap awal yang dihadapi oleh gas yang bermigrasi dari Yang Besar Graben.

b. Seals

Sealing horizons, baik regional dan lokal, sangat penting baik CO2 dan migrasi hidrokarbon. Yang tebal, overpressured Formasi Baong pada N. Sumatera Basin adalah contoh yang baik dari regional seal yang menghalangi migrasi hidrokarbon. Yang tebal lainnya, formasi didominasi claystone menghalangi migrasi CO2 adalah Gumai (S.Sumatera dan Cekungan Sunda) dan Upper Cibulakan (NW. Jawa).

Local seals juga dapat mempunyai efek yang besar pada konsentrasi CO2. Zona Formasi Upper Cibulakan 16 karbonat (onshore NW. Jawa) adalah contoh dari ini. Zona ini menunjukkan variasi CO2 lateral; Lapangan Gantar tested 61.3% CO2 pada zona 16 dan 70.5 - 92.5% CO2 pada Formasi Baturaja, dimana Pamanukan Selatin #1 tested 6.4% CO2 di zona 16, meskipun CO2 pada Formasi Baturaja masih tinggi (85.4-86.7 %). Ini dapat dijelaskan bahwa seal antara Formasi Baturaja dan zona 16 karbonat, menghalangi migrasi CO2 keatas (Gambar 4).

Gambar 4. Korelasi sumur menunjukkan kandungan CO2 pada Formasi Baturaja dan Talang Akar.

Biogenic Gas & CO2 Distribution - BP Joint Study Report

February 21, 2010

Geochemistry of East Java Basin

Keberadaan minyak pada East Java Basin dapat dibagi menjadi empat domain geologi, yaitu: area Cepu-Bojonegoro, area Surabaya, area Madura, dan area laut North Madura. Area Cepu-Bojonegoro termasuk lapangan tua yang ditemukan sepanjang akhir 1800an-awal 1900an menghasilkan minyak dari Middle-Late Miocene Ngrayong sandstones membentuk faulted anticlines seperti: Wonocolo-Kawengan, Ledok, Nglobo, dan lapangan Metes. Saat ini lapangan yang menghasilkan minyak dari Oligo-Miocene Kujung reefs seperti Mudi Sukowati dan lapangan Banyu urip. Area Surabaya termasuk lapangan tua yang menghasilkan minyak dari Ngrayong sands, seperti Kuti (Lapangan minyak pertama pada East Java Basin,1988), Kruka, Lidah dan Sepat. Area Madura termasuk lapangan tua dengan tren yang sama dengan Cepu dan Area Surabaya, seperti Lerpak, Tanjung, dan Lapangan Kertegeneh. Area Laut North Madura termasuk semua lapangan dengan reservoir Kujung Carbonate Reefs seperti: Camar, Poleng, KE23, KE40, KE5, Ujung Pangkah, Bukit Tua, Jenggolo, Payang dan well discovery yang mengandung minyak pada Paleogene reservoir dari Ngimbang sands hingga Rancak Carbonates.

Analysis of Oil Properties
Berdasarkan GC (Gas Chromatograph) dan GC-MS (Gas Chromatograph-Mass Spectrometry) dan hasil dari cross-plots geokimia, terdapat perbedaan yang jelas pada properti minyak
offshore dan onshore. Sampel minyak onshore menunjukkan API (densitas minyak) 8-69 degrees dengan average 29 degrees, sulfur 0.02-0.68 wt.% average 0.19 (Gambar 1). Average saturate dan kandungan aromatic dari minyak 59% dan 23%. Variasi API Gravity berhubungan dengan water washing biodegradasi dan juga derajat kematangan. Unaltered East Java oils adalah semuanya parafinnic waxy hingga moderate waxy, medium high API (30.9-41.3 degrees F), low-medium sulfur minyak mentah (lebih kecil dari 0.5wt% S). Biodegradasi terjadi pada lapangan yang berlokasi di Cepu dan area Surabaya.

Gas chromatograms dari
East Java oils menunjukkan waxy alkanes dari C20 dan diatasnya, mengindikasikan asal mula dari tanaman. Rasio pristane/phytane dari minyak hampir sama (rata-rata 4.97 untuk minyak onshore, 5.36 untuk minyak offshore) (Gambar 1) dan diinterpretasi lebih terrestrial dihasilkan dari tipe III kerogen dengan lingkungan moderate oxic (Gambar 2).

Gambar 1. Cross plot minyak onshore dan offshore East Java Basin berdasarkan physical bulk properties dan pristane/phytane. Kebanyakan minyak jatuh pada kelas "D" atau "E", mengindikasikan dominasi non-marine sources yang dicirikan dengan kandungan sulfur rendah (dibawah 1%) dan pristane/phytane > 3.0

Gambar 2. Cross plot pristane dan phytane hingga normal alkane menunjukkan input kerogen, source facies, dan kondisi reduksi-oksidasi. Distribusi data untuk minyak onshore bergeser hingga lebih berkarakter marine dan minyak offshore lebih berkarakter terrestrial, meskipun terdapat pertimbangan variasi.

Gambar 3 menunjukkan data plot carbon isotope
saturate dan aromatics fractions dari minyak menunjukkan sedikit perbedaan diantara minyak. Rata-rata rasio carbon isotope untuk saturated dan aromatic HC dari minyak onshore adalah -26.91% dan -25.65%. Sedangkan ata-rata rasio carbon isotope untuk saturated dan aromatic HC dari minyak offshore adalah -27.4% dan -25.6%. Data carbon isotope menunjukkan keseluruhan minyak dihasilkan dari source rocks/facies organik yang sama dengan minyak offshore lebih terrestrial. Data Carbon isotope berada pada range menengah dan konsisten dengan generasi dari mixed terrestrial/algal organic facies.

Gambar 3. Cross plot aromatic dan saturate carbon-13 isotopes menunjukkan source facies. Data distribusi untuk minyak onshore bergeser menjadi lebih marine dan minyak offshore bergeser menjadi lebih terrestrial.

Kandungan wax pada minyak sangat bervariasi namun umumnya tinggi (nC31-nC19 sering > 0.3). Gambar 4 menunjukkan data GC untuk minyak onshore dan offshore. Minyak menunjukkan cyclic hump pada range C13-C15 diinterpretasi signifikan angiosperm terrestrial sebagai input untuk minyak. GC scans untuk minyak pada umumnya menyerupai tipe Indonesian oil sourced dari fluvio-deltaic shales dan coals yang mengandung terrestrial/minor algal organic facies (Robinson,1987).

Gambar 4. C5+ seluruh oil chromatogram East Java Oil dari onshore dan offshore menunjukkan pola yang sama. East Java oils menunjukkan karakter fluvio-deltaic.

Gambar 5. Ternary diagram sterane C27-C28-C29 menunjukkan lingkungan pengendapan dari sources yang menghasilkan minyak dan maturity profile. Distribusi data dari minyak offshore bergeser menjadi lebih terrestrial dan kurang mature dan minyak onshore menjadi lebih marine dan lebih mature.

(Courtesy of Satyana, A.H. & Purwaningsih, M.E.M. 2003. Geochemistry of the East Java Basin: New Observations on Oil Grouping, Genetic Gas Types and Trends of Hydrocarbon Habitats. IPA, 2003)

February 19, 2010

Biogenic Gas

Biogenic gas dihasilkan pada temperatur rendah dari dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme anaerobik. Lebih dari 20% dari cadangan gas dunia yang ditemukan berasal dari biogenic. Persentase yang lebih tinggi daripada sebagian besar asal biogenic gas akan ditemukan di masa depan. Biogenic gas merupakan target penting dalam eksplorasi karena secara geologi dapat diprediksi dan mencakup area yang luas serta jumlah besar pada kedalaman yang dangkal.

Akumulasi yang sangat cepat pada marine sediments, suatu suksesi ekosistem mikroba menyebabkan terbentuknya biogenic gas. Setelah oksigen yang dikonsumsi oleh respirasi aerobik, reduksi sulfat menjadi bentuk dominan respirasi. Pembentukan dan akumulasi Methane menjadi dominan hanya setelah sulfat dalam pore water sediment keluar. Mekanisme yang paling penting dari pembentukan methane pada marine sediments adalah pengurangan CO2 oleh hidrogen (elektron) yang dihasilkan oleh oksidasi anaerobik bahan organik. CO2 merupakan produk baik metabolic decarboxylation atau chemical decarboxylation sedikit lebih tinggi. Faktor-faktor yang mengontrol tingkat produksi methane setelah burial sediment adalah anoxic environment, sulfatedeficient environment, temperatur rendah, ketersediaan bahan organik, dan ruang yang memadai. Faktor-faktor inilah yang membuat sehingga sebagian besar biogenic gas dihasilkan sebelum burial depths 1000 m.

Pada marine sediments, sebagian besar biogenic gas yang terbentuk dapat dipertahankan dalam larutan di interstisial (pore) waters karena tingkat larutan methane lebih tinggi dalam tekanan hidrostatik yang tinggi disebabkan oleh berat di bagian atas kolom air. Dalam kondisi tertentu tekanan tinggi dan (atau) temperatur rendah, biogenic methane bergabung dengan air untuk membentuk gas hidrat.

Biogenic gas biasanya dapat dibedakan dari thermogenik gas dengan analisa kimia dan analisa isotop. Fraksi hidrokarbon dari biogenic gas didominasi oleh methane. Kehadiran sebanyak 2% dari berat hidrokarbon yang mungkin berhubungan dengan campuran minor thermogenik gas berhubungan dengan degradasi temperatur rendah material organik.

Generasi dan terbentuknya hidrokarbon dapat dikaitkan dengan tiga tahap utama kematangan termal bahan organik dalam batuan sedimen (Gambar 1) :
1. Immature stage (diagenesis), aktivitas biologis dan kimia yang berperan untuk mengubah material organik menjadi kerogen, larutan residu, yang merupakan sumber kebanyakan hidrokarbon. Meskipun sedikit jumlah hidrokarbon hadir yang mana diwariskan dari atau mild degradation material organik. Biogenic methane adalah satu-satunya hidrokarbon yang dihasilkan dalam volume yang signifikan selama fase ini.
2. Mature stage (catagenesis)- Dengan meningkatnya suhu dan advanced geologic time, hidrokarbon yang dihasilkan dari kerogen dan nonhydrocarbon yang didahului oleh degradasi termal dan reaksi cracking. Tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan organik, oil generation terjadi selama tahap ini disertai oleh produksi dalam jumlah yang signifikan dari natural gas. Ketika temperatur meningkat, light hidrokarbon terbentuk, karena memecah ikatan karbon, mempengaruhi baik sisa kerogen dan hidrokarbon yang terbentuk sebelumnya. Wet gas dan kondensat adalah produk utama dari tahapan akhir proses ini.
3. Postmature stage (awal metamorfisme)- Pada akhir mature stage, kerogen menjadi highly polymerized, condensed in structure, dan stabil secara kimia. Hidrokarbon utama yang dihasilkan adalah methane dihasilkan dari cracking hidrokarbon yang ada. Hidrokarbon yang lebih besar dari methane hancur jauh lebih cepat daripada mereka terbentuk.

Gambar 1. Diagram menunjukkan generation of hydrocarbons dengan meningkatnya waktu dan temperatur.

Asal Usul Biogenic Gas
Biogenic gas dihasilkan selama dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Dalam kondisi saat ini, pembentukan biogenic methane dikendalikan oleh beberapa kendala fisiologis dan ekologis. Pertama, mikroorganisme penghasil methane yang strict anaerob dan tidak dapat mentolerir bahkan jejak oksigen. Kedua, biogenic methane tidak terakumulasi dalam jumlah yang signifikan di hadapan konsentrasi tinggi terlarut sulfat.

Dalam sedimen laut, pengurangan sulfat adalah proses dominan respirasi bakteri anaerobik pada shallow depth of burial (ZoBell dan Rittenberg, 1948). Bukti untuk produksi metana yang signifikan biasanya tidak dapat dideteksi hingga larutan sulfat dihilangkan dari intersitial water (Nissenbaum et al,1972). Dalam banyak lingkungan laut baru-baru ini, penghapusan sulfat tidak terjadi sampai endapan telah terkubur pada kedalaman beberapa puluh meter (Sayles et al, 1973; Waterman et al, 1973; Manheim dan Sayles, 1974). Sebagai hasilnya, efek geokimia dalam metanogenesis open marine sediments sulit untuk diamati. Namun, dengan munculnya deep coring procedure oleh Deep Sea Drilling Project, informasi tentang sifat dan distribusi dari methane generation di sedimen laut telah tersedia.

February 5, 2010

Carbonate Rock Physics

Respon seismik pada batuan karbonat sangat sulit dikenali. Contoh, dimana tidak dikenalnya conventional DHI ranking dan klasifikasi AVO yang dikembangkan untuk batuan klastik berlaku untuk batuan karbonat. Model Rock Physics karbonat yang akurat dibutuhkan untuk mengatasi masalah teknis ini.

Perkembangan model rock physics batuan karbonat sangatlah sulit dikarenakan batuan karbonat pada umunya memiliki sistem pori yang kompleks daripada batuan klastik. Dimana batuan klastik umumnya memiliki intergranular pores, batuan karbonat dapat memiliki berbagai jenis tipe pori seperti moldic, vuggy, interparticle dan intraparticle. Sebagai tambahan, diagenesis sering memainkan peranan penting pada alterasi sistem pori pengendapan karbonat.

Permasalahan yang dihadapi pada batuan karbonat :
1. Reservoir Karbonat memunyai tipe yang secara lateral sulit untuk diprediksi.
2. Karbonat, tidak seperti batuan klastik, porositas dan permeabilitasnya sering sekali bergantung pada proses diagenesis yang harus tidak selalu mengikuti facies boundaries.
3. Perubahan facies dalam karbonat dapat terjadi secara cepat dan diikuti oleh beberapa tahapan diagenesis, membuat identifikasi reservoir boundaries menjadi lebih sulit.

Karbonat pada penampang seismik :
1. Karbonat biasanya memiliki kecepatan tinggi, yang memberikan ekspresi seismik dalam waktu singkat.
2. Poor contrast acoustic impedance : komposisi reservoir karbonat ditunjukkan dengan komposisi mineralogi yang sangat terbatas, limestone atau dolomite, sering mempunyai kontras kecepatan yang sangat kecil. Deteksi karbonat porous dalam limestone reefs sangatlah sulit.
3. Sangatlah sulit dalam menentukan shale seal. Misalnya, Low-velocity shale yang kontak dengan high-velocity (tight) limestone sering menimbulkan misinterpretasi untuk low-velocity layers dari porous dolomite diatas high-velocity (tight) limestone. Reflektifitas untuk P-waves normal incidence serupa untuk kedua kasus ini.
4. Karbonat umumnya mempunyai kedalaman yang cukup dalam, sehingga energi seismik mengalami adsorbsi, atenuasi, mendistorsi lapisan batuan untuk mencapai karbonat dan dipantulkan kembali ke permukaan.

Slide 2

Penelitian yang diterbitkan baru-baru ini menunjukkan bahwa tipe pori karbonat sangat mempengaruhi hubungan porositas-kecepatan (e.g., Eberli et al. 2003). Multi-scale pore system pada batuan karbonat menyebabkan beberapa penulis untuk mempertanyakan validitas perhitungan fluid substitution menggunakan persamaan Gassmann (e.g.,Wang 1997, Baechle et al. 2005), sedangkan yang lain berpendapat bahwa persamaan Gassmann bekerja sangat baik (e.g., Rasolofosaon 2006, Adam et al.2006). Ini sangatlah penting untuk memahami mengapa persamaan Gassmann tampak bekerja untuk batuan karbonat pada beberapa kasus namun tidak dalam kasus yang lain.

Model teoritis (e.g., Kuster and Toksoz 1974) disisi lain mempertimbangkan dampak dari beberapa faktor seperti porositas, tipe pori, dan fluida pori, secara konsisten. Sebagai contoh, mereka sering menggunakan pendekatan orde pertama karena mereka mengabaikan interaksi mekanis antara pori-pori. Dengan demikian, mereka hanya berlaku pada konsentrasi fluida pori. Metoda Differential Effective Medium (DEM) method (e.g.Nishzawa 1982) atau metoda self-consistent method (e.g. Willis 1977) dapat diintegrasikan dengan berbasis model inklusi (e.g. Kuster dan Toksoz 1974) untuk menjelaskan mekanisme interaksi ini. Dalam kasus tipe sistem multi-pori, pori-pori DEM menambahkan jenis yang berbeda menjadi sebuah model komputasi dengan cara berurutan. Pendekatan ini membuat pendekatan DEM asimetris, yaitu, dengan hasil akhir tergantung pada susunan pori-pori berbeda jenis ditambahkan ke sistem. Xu et al. (2006) mengenalkan teori baru DEM untuk memecahkan masalah ini. Pada pendekatan yang terakhir, sebagian kecil dari semua jenis pori-pori yang ditambahkan ke sistem secara proporsional dalam setiap pengulangan perhitungan. Pendekatan baru ini membuat DEM simetris, tapi itu membuat perhitungan fluid subsitution berikutnya menjadi lebih rumit.

Xu dan White (1995, 1996) mengembangkan sebuah model rock physics yang mensimulasikan efek gabungan dari beberapa faktor dalam kecepatan gelombang P dan S. Keys dan Xu (2002) mengusulkan sebuah metode pendekatan dry rock, yang secara dramatis mempercepat perhitungan numerik DEM dengan tetap menjaga akurasi. Xu et al (2007) memperluas model batuan karbonat Xu-White. Dalam model mereka, total volume pori dibagi menjadi empat jenis tipe pori berdasarkan estimasi volume pori serpih : (1) clayrelated pores, (2) interparticle pores, (3) microcracks, dan (4) stiff pores.
Pertama, total pore space dibagi ke dalam clay dan clay pore dengan menggunakan skema yang diusulkan oleh Xu dan White (1995),
Vsh yang merupakan volume of shale, yang dinormalisasikan dengan total volume matriks butiran. Terlepas dari kenyataan bahwa batuan karbonat umumnya clean, tetap disimpan clay pores dalam model untuk membuat itu berlaku untuk campuran lingkungan klastik-karbonat.

Microcracks mewakili komponen yang paling sesuai untuk kompresibilitas batuan, baik dalam klastik atau karbonat. Sebagai hasilnya, mereka sangat sensitif terhadap stress. Kami menggunakan persamaan berikut untuk menghubungkan crack porosity terhadap porositas efektif.
di mana φ Init menunjukkan initial crack porosity pada tegangan efektif overburden nol σ 0, dan β adalah konstanta. φ sInit dan β dapat diperkirakan dari stress-dependent kecepatan gelombang P-S yang diukur di laboratorium.

Stiff pores (Stiff φ) menggambarkan rounded moldic pores atau vugs pada batuan karbonat. Untuk batuan klastik, Stiff φ mungkin diatur ke nol. Akhirnya, interparticle pores (φ IP) membuat ruang pori yang dominan di batuan sedimen. Ini adalah ruang di antara butir pasir dalam kasus klastik. Mereka, secara umum, tidak peka terhadap stress dan tidak memiliki orientasi.

Gambar sebelah kiri adalah karbonat dengan interparticle pores, gambar yang ditengah adalah karbonat dengan interparticle dan rounded interframe pores, gambar sebelah kanan adalah karbonat dengan interparticle pores dan micro-cracks.

Xu&Payne (2009) menunjukkan bahwa sistem porositas karbonat dapat ditafsirkan dalam tiga komponen pori : (1) reference interparticle pores dengan aspek rasio 0.15; (2) soft micro-cracks dengan aspek rasio 0.02; (3) stiff vuffy pores dengan aspek rasio 0.8.

Crossplot dari Vp vs Porositas menunjukkan indikasi kontribusi relatif dari tiap-tiap komponen pori (Xu & Payne, 2009).

Xu - Payne
Model isotropis rock physics karbonat telah dirilis dan digunakan oleh Icon Science. Ini merupakan perluasan model Xu-White, yang awalnya didesain untuk batuan klastik, hingga batuan karbonat.

Workflow of Xu - Payne model

February 2, 2010

Reservoir Characterization using Rock Physics and Seismic Modelling


Rock Physics Modelling

Gambaran awal data (figures 1a & 1b) menunjukkan bahwa data mempunyai kualitas yang wajar dan sesuai dengan identifikasi model teoritis. Berdasarkan pemahaman bahwa litologi sesuai dengan model yang diusulkan dan mempunyai tren yang jelas, teknik forward modelling dapat digunakan untuk memprediksi yang tidak diketahui. Dua skenario utama dalam permodelan adalah apa yang terjadi dengan variabel kandungan fluida dan apa yang terjadi dengan variasi litologi.

Figure 1a&1b. Analisa Crossplot ; Plot A: Vp (sumbu x) vs Rho (sumbu y), colored code vshale. Data log awal dari 12 sumur pada Brenda area diatas area of interest. Trend lines menggambarkan hubungan regional sand (biru) dan shale (hitam). Plot B: Vp (sumbu x) vs Vs (sumbu y) dari sumur dengan data log yang tersedia diatas area of interest. Trend lines menggambarkan hubungan regional sand (kuning), shale (coklat) dan limestone (biru).

Dengan membawa teori Rock-Physics; seperti hubungan Greenberg-Castagna’s Vp/Vs (1992); Properti fluida Batzle & Wang (1992); Gassmann’s Fluid substitution (1952); Persamaan Zoeppritz (1919); tuning thickness models; dan lainnya, bersama data yang dihasilkan model, sangat mungkin untuk menghitung spesifik attribut dan sensitivitas reservoir terhadap litologi dan variasi fluida, dan selanjutnya diterapkan pada data seismik.

Persamaan Gassmann (1952) telah digunakan pada forward modelling untuk memprediksi masing-masing karakteristik sumur dibawah variabel kondisi fluida, berkisar dari water filled hingga high oil saturation 80%. Contoh yang dapat diamati pada track 5-7, figure 2, sedangkan porositas awal dan saturasi dapat dilihat pada track 3 dan 4. Hasil fluid substitution dari initial logs (hijau) dan pseudo water filled (biru). Subsitusi dari hidrocarbon (hijau) hingga air (biru) menunjukkan peningkatan pada compressional velocity dan densitas, sedangkan shear velocity secara relatif konstan. Set pertama sintetik menunjukkan AVA gathers untuk skenario initial hydrocarbon filled, sedangkan set kedua untuk skenario water filled. Terdapat peningkatan amplitudo secara signifikan dimana terjadi subsitusi air dari minyak. Ini juga penting dicatat bahwa amplitudo baik pada kasus air dan minyak mempunyai amplitudo yang kuat pada near stack dan amplitudo menurun dengan bertambahnya sudut, sehingga menghasilkan gradien AVA negatif.

Figure 2. Garis merah putus-putus menggambarkan sand-shale interface dan track 9 merupakan AVA sintetik yang dihasilkan dari pseudo water filled.

Xu dan White (1995) mengembangkan model teoritis untuk kecepatan pada shaley sandstones. Dinyatakan bahwa clays bias dan terpecah-pecah dalam model standar porositas-kecepatan, karena pada umumnya membentuk pori dengan aspek rasio lebih kecil daripada butiran pasir. Xu-White model digunakan untuk menghasilkan compressional velocity (Vp), shear velocity (Vs) dan densitas (Rho) menggunakan Xu dan White (1995) clay-sand mixture model dan persamaan Kuster dan Toksöz (1974) mengenai differential effective medium (DEM) (Keys dan Xu, 2002). Gambaran penting dari fungsi tersebut adalah bentuk dari porosity inclusions dapat dispesifikasikan menggunakan shape factor. Sehingga efek perubahan geometri pori pada Vp, Vs dan densitas, dan maka respons seismik dapat diinvestigasi.

Metodologi Xu-White (1995) digunakan untuk menghitung secara prediktif Vp, Vs dan Densitas, yang selanjutnya dioptimasi pada data log dan "gangguan" kemudian dihitung untuk mencari efek kuantitatif dari meningkatnya Vshale didalam Forties interval. Metodologi Xu-White menggunakan litologi water wet sehingga dimana HC berada, persamaan Gassmann’s digunakan untuk membawa kembali keluar dan mengganti air terlebih dahulu hingga lithology modelling pore fill, jika kandungan shale rendah sehingga gradien negatif. Meskipun fluid fill mempengaruhi magnitudo AVA gradien pengaruhnya hanya kecil relatif terhadap pengaruh litologi. Juga kehadiran HC meningkatkan gradien.

Figure 3. Track 5 menggambarkan initial synthetic diatas range angle 0-50 degrees. Tracks 6, 7 & 8 menggambarkan sintetik menggunakan pseudo well logs yang dibuat untuk meningkatnya kandungan shale dari kiri ke kanan diatas zona reservoir. Garis merah putus-putus menggambarkan shale-sand interface dan karakteristik sintetik AVA.

Seismic Inversion

Terdapat bermacam-macam tipe seismik inversi; namun hanya dibahas colored inversion dan model-based inversion. Kedua metoda ini menggambarkan efek AVA pada domain pre-stack dan menggunakan informasi Vp, Vs dan densitas. Dimana Vp dipengaruhi oleh pore fill, Vs lebih baik dalam menunjukkan variasi pada rock framework. Kekuatan inversi adalah menyederhanakan gambaran seismik dengan menghilangkan efek wavelet, sehingga dapat memberikan pemahaman lebih baik mengenai stratigrafi, litologi, dan variasi pore fill. Impedance yang menjembatani gap antara variasi petrofisik dan amplitudo seismik.

Conolly (1999) mengenalkan elastic impedance yang ekuivalen dengan acoustic impedance tapi pada non-normal incidence. Input yang digunakan untuk menghasilkan log EI adalah Vp, Vs, dan densitas. Ketika tidak terdapat Vs digunakan metode Greenberg-Castagna untuk memprediksi (Wet Sands dan shales).

Coloured Inversion
Lancaster and Whitcombe (2000) mengenalkan teknik color inversion yang merupakan pendekatan sederhana untuk mengestimasi nilai relative impedance. Manfaatnya adalah kemudahan dalam interpretasi dan seismik atribut, tidak muncul adanya artefak, yang mungkin ada pada teknik inversi deterministik, dan teknik inipun cepat dan mudah untuk diterapkan. Kelemahannya adalah bahwa, sebagai atribut seismik, ini tidak lebih daripada absolut properti, sehingga tidak dapat digunakan untuk interpretasi kuantitatif dari karakteristik reservoir. Alasan untuk ini adalah bahwa efek tuning tidak ditangani dalam rapid lateral variation.

Dengan melihat variasi impedance dalam figure 4, pada inverted stack impedansi rendah akan tampak pada higlighting area dan gradient impedance pada figure 5, yang merupakan indikasi sands, masih ada strong negative gradient. Hal ini mendukung manfaat dalam menggunakan AVA gradient stack, dan inversion product yang dihasilkan dari itu, untuk menggambarkan sistem reservoir dan bukan sekadar menggunakan inverted near stack untuk menggambarkan litologi.

Figure 4. a) Near Stack coloured inversion ; (b) Far Stack coloured inversion

Figure 5. Gradient Impedance section

Model-based Inversion
Untuk memperoleh absolute impedances dari relative impedance trace inversions, low frequency model perlu ditambahkan ke relative impedance inversion. Ini berasal dari interpolasi sederhana data well log atau dapat diturunkan dari data stacking velocity. Sementara itu, relative impedance menggambarkan variasi pada interface, maka dapat dipengaruhi oleh variasi dalam shale overburden, absolute impedance secara teori harus mengakomodasi untuk ini.

Tujuan dari seismik inversi di sini adalah untuk menghubungkan amplitudo data seismik pada model impedance (berasal dari perhitungan impedansi akustik (AI) dan impedansi elastik (EI) logs). Ini dibangun berdasarkan algoritma maximum likelihood deconvolution. Ini bekerja atas dasar bahwa wavelet dikenal dan model impedance menggunakan frekuensi rendah sebagai titik awal. Dibuat broadband reflectivity dan diubah hingga hasil sintetik match dengan real trace pada tiap-tiap sampel. Kemudian dicoba mencari volume impedance optimum yang menggambarkan data seismik, dengan membandingkan synthetic volume dengan real seismic.

Crossplot data sumur dapat membantu mengidentifikasi properti elastik untuk litologi yang berbeda dan fluid fills. Dengan menggunakan cut-offs spesifik, kita dapat memisahkan water sands, oil sands dan shale (figure 6). Dalam contoh ini shale memiliki AI yang lebih rendah daripada oil sands yang memiliki AI yang lebih rendah daripada water sands. Dengan AI oil sands yang overlapping kedalam shale dan water sand, ini akan sangatlah sulit untuk dipisahkan. Volume EI bagaimanpun juga memberikan shale dan water sand nilai yang lebih tinggi daripada oil sands. Di mana kita memiliki densitas tinggi, sehingga kita dapat memiliki keyakinan bahwa lokasi dengan nilai-nilai ini dapat merupakan oil sand, water sand atau shale. Jauh dari area densitas tinggi pada crossplot dan domain atribut, variasi ini terjadi karena baik berkurangnya tingkat saturasi atau kualitas reservoir.

Figure 6. Acoustic impedance vs elastic impedance cross-plot. Coklat = shale, Hijau = oil sands, Biru = water sands.

Absolute acoustic impedance dan elastic impedance (figure 7a & b) volumes menunjukkan tingkat kemiripan yang relatif besar dengan relative (coloured) impedance volumes (figure 4). Namun, nilai-nilai yang ditunjukkan adalah mutlak dan bebas dari litologi di atas. Selain nilai-nilai yang diamati di bagian-bagian yang kemudian dapat langsung terhubung dengan crossplot. Nilai EI rendah digambarkan pada figure 7b memiliki nilai sekitar 350-370 bahwa ketika mengamati crossplot akan dipandang kemungkinan sebagai oil bearing sands. Juga, hasil tidak boleh terdistorsi oleh efek tuning. Lokasi target kemudian dibor untuk mengenai anomali yang diusulkan, dan membatasi sejauh mana akumulasi, dan volume impedance yang digunakan dalam memprediksi properti. Volume elastic impedance bersama dengan gradient impedance digunakan untuk mengidentifikasi akumulasi minyak. Semakin rendah nilai anomali EI semakin rendah risikonya.

Figure 7. a & b) Absolute Acoustic dan elastic impedance section. Red solid lines menggambarkan low risk targets. Red dashed lines menggambarkan medium risk targets.

Courtesy Icon Science Pacific Pty. Ltd, IPA 2008.