CO2 merupakan zat kontaminan baik untuk reservoir karbonat maupun klastik. CO2 adalah faktor utama dalam menerka kandungan prospek, karena itu tidak hanya menurunkan volume dari keberadaan hidrokarbon, tapi juga secara signifikan meningkatkan development cost karena sifatnya yang korosif. Sehingga, problem dalam memprediksi keberadaan CO2 adalah sangat penting.
Potential Sources of CO2 in the Subsurface
Jumlah signifikan dari CO2 dapat dihasilkan dari variasi sumber organik maupun inorganik (Gambar 1). Secara organik maupun inorganik sumber CO2 dapat dibedakan pada banyak kasus dengan menggunakan analisa karbon isotop.
Organic Sources
Bahan organik terkubur mengalami modifikasi melalui biogenic (diagenesis) dan selanjutnya alterasi termal (katagenesis). CO2 dihasilkan atau terdapat pada kebanyakan dari proses ini.
a. CO2 dari proses biogenic
Bakteri sangat mempengaruhi degradasi material organik. Reaksi aerobik terjadi menyediakan suplai kontinu dari oksigen (O2) yang ada. Dekat permukaan ini dicapai dengan difusi melewati kolom air. Pada kedalaman yang sangat dalam, O2 terlarut dihasilkan melalui akuifer aktif. Dimana HC terperangkap dalam area dimana akuifer dapat sebagian teroksidasi, dengan CO2 sebagai produk.
Sekali oksigen telah digunakan untuk proses anaerobic. Terjadi mediasi oleh berkurangnya sulfat dan bakteri methanogenic. Proses seperti ini berlanjut hingga temperatut 60-70 derajat C, dimana aktifitas bakteri berhenti.
b. CO2 dari thermal breakdown of kerogen
Pada temperatur > 70 derajat C, thermal breakdown dari material organik terjadi. Pada 75-120 derajat C, sebelum HC generation, CO2 adalah produk utama dari kerogen breakdown (Gambar 2). Tipe II (Humic) Kerogen mempunyai large CO2 generative potential dan secara teori dapat menghasilkan jumlah yang sama dengan CO2 dan Methane (CH4), dimana tipe I (algal) Kerogen mempunyai small CO2 generative potential karena rendahnya kandungan dari molekul oksigen (Saxby, 1977).
Gambar 2. Generation of gases dari material organik dengan peningkatan temperatur (After Hunt, 1996)
Dimana coals adalah source rock HC utama atau adanya interbedded pada sand reservoir pada temperatur 75-120 derajat C, seperti halnya pada kasus di kebanyakan Cekungan Asia Tenggara, jumlah kontaminasi CO2 dapat diharapkan. Ini tergantung pada jumlah & tipe coal serta rute migrasi gas diantara coal dan reservoir yang 40% CO2 dihasilkan dari coals seperti Kapanui Field, Taranaki Basin, New Zealand.
c. CO2 dari berkurangnya sulfat thermokimia
Pada temperatur > 140 derajat C, HC dapat bereaksi dengan mineral sulfat (Orr, 1975). Co2 menjadi salah satu produk. Namun, jumlah CO2 yang dihasilkan sangatlah kecil.
d. Karbon isotope secara organik menghasilkan CO2
Saat kerogen breakdown beberapa fraksi carbon terjadi. Bakteri CO2 memunyai range yang lebar (15- (-30) perseribu). Reduksi sulfat akan menghasilkan CO2 lebih berat dari organic source (Clayton, 1995). CO2 yang dihasilkan oleh maturasi termal dari kerogen mempunyai range carbon isotop -10 - -25 perseribu (Thrasher dan Fleet, 1995), tergantung baik dari derajat kematangan dan rasio isotop carboxyl grup dari kerogen (Clayton, 1995).
Inorganic sources
a. CO2 dari mantle degassing
Keluarnya CO2 dari mantel membutuhkan suatu intrusi atau ekstrusi atau fault yang berpenetrasi secara dalam. Ini konsisten dengan CO2 discharges dan zona tektonik aktif.
b. CO2 dari metamorphic mineral reactions
CO2 dapat dihasilkan secara regional atau dari kontak metamorfisme karbonat. Perbedaan mineral silikat dan air bereaksi dengan karbonat yang mengeluarkan CO2 dalam range temperatur yang lebar, minimum sebesar 300 derajat C untuk sistem zeolite-calcite (Winkler, 1965). Temperatur dimana reaksi terjadi tinggi pada masa sedimen, meskipun ini dapat dicapai pada deep basin atau saat geothermal gradien sangat tinggi. Kehadiran sirkulasi fluida hidrotermal dan/atau intrusi dapat mempengaruhi pada peningkatan temperatur secara lokal.
c. CO2 dari reaksi diagenetis mineral - karbonat
Secara teori CO2 dapat dihasilkan dengan dekomposisi karbonat pada temperatur lebih kecil dari yang dibutuhkan untuk reaksi metamorphic. Kissin dan Pakhomov (1967) melakukan reaksi batuan karbonat yang berbeda-beda dengan air distilasi pada 75-250 derajat C. Mereka menyimpulkan bahwa (1) pure limestones menghasilkan jumlah kecil dari CO2 dimana argillaceous dolomites, clays, mengandung beberapa persen karbonat dan siderit mempunyai kadar CO2 lebih besar dan (2) CO2 production rates meningkat secara cepat dengan peningkatan temperatur diatas 150 derajat C, meningkatnya temperatur mempunyai efek lebih lanjut pada kandungan CO2 (Gambar 3). Jika reaksi-reaksi tersebut terjadi di alam, maka terdapat potensi sumber CO2 pada cekungan sedimen dimana impure carbonates terjadi pada temperatur > 150 derajat C.
Gambar 3. Generation of CO2 saat batuan yang berbeda direaksikan dengan distilled (1-9) dan sea (10) water (after Kissin & Pakhomov, 1967)
d. CO2 dari reaksi diagenetis mineral - klastik
Kesetimbangan kimia inorganik antara feldspar, lempung, dan mineral karbonat memerlukan dissolution of carbonate dengan produksi CO2 pada temperatur > 100-120 derajat C (Smith & Ehrenberg, 1989). Diatas temperatur ini, mereka menemukan hubungan linear antara logPCO2 dan temperatur dari data Texas Gulf Coast dan Norwegian North Sea (Franks & Forester, 1984; Smith & Ehrenberg, 1989). Reeves dan Sulamen menemukan hubungan linear yang sama pada reservoir klastik di North Sumatera Basin.
Basin Plumbing
a. Migration Pathways
Gunung api sangat mungkin menjadi konduit untuk mantle CO2. Namun pengaruhnya masih belum jelas dan mungkin lebih terkait dengan distribusi fault flumbing, daripada ukuran, lokasi dan tipe dari gunung api itu sendiri. Cunda A#5 (N. Sumatera) berada 25-50 km dari gunung api, tapi menunjukkan tidak ada bukti kontaminasi dengan gas yang berasal dari mantel, dimana Pamanukan #2 (onshore NW. Jawa), berada pada jarak yang sama dari aktivitas vulkanik, terdapat bukti kontaminasi gas. Pamanukan #2 berada pada puncak dari major fault yang memanjang kearah volcanic area.
Major crustal faults harus ada pada transportasi CO2 baik dari mantel atau melalui metamorfisme regional dari basement. Lapangan Kuala Langsa (N.Sumatera), mempunyai kandungan CO2 80%, juga berada pada puncak major fault, seperti perangkap awal yang dihadapi oleh gas yang bermigrasi dari Yang Besar Graben.
b. Seals
Sealing horizons, baik regional dan lokal, sangat penting baik CO2 dan migrasi hidrokarbon. Yang tebal, overpressured Formasi Baong pada N. Sumatera Basin adalah contoh yang baik dari regional seal yang menghalangi migrasi hidrokarbon. Yang tebal lainnya, formasi didominasi claystone menghalangi migrasi CO2 adalah Gumai (S.Sumatera dan Cekungan Sunda) dan Upper Cibulakan (NW. Jawa).
Local seals juga dapat mempunyai efek yang besar pada konsentrasi CO2. Zona Formasi Upper Cibulakan 16 karbonat (onshore NW. Jawa) adalah contoh dari ini. Zona ini menunjukkan variasi CO2 lateral; Lapangan Gantar tested 61.3% CO2 pada zona 16 dan 70.5 - 92.5% CO2 pada Formasi Baturaja, dimana Pamanukan Selatin #1 tested 6.4% CO2 di zona 16, meskipun CO2 pada Formasi Baturaja masih tinggi (85.4-86.7 %). Ini dapat dijelaskan bahwa seal antara Formasi Baturaja dan zona 16 karbonat, menghalangi migrasi CO2 keatas (Gambar 4).
Mas Irfan, saya mau nanya, gambar 1 di atas sumbernya dari mana ya? Terima kasih
ReplyDeleteSalam
Alex
Mas irfan, blognya sangat membantu saya dalam belajar...terima kasih
ReplyDeleteHalo Irfan. Kamu yang dari AWE bukan ya? Aku febrie yang dari Medco, kita ketemu pas scoutcheck. Masih ingat? Eniwei, waktu googling jadi mampir kesini. Dicantumin donk papernya yg sebagai sumber. Thanks yaaa..
ReplyDelete