January 8, 2013

Gamma Ray Log

Log Gamma Ray adalah log yang mengukur besarnya nilai radioaktif pada suatu formasi. Akibat radiasi yang memancar dari tiga komponen mineral; uranium, thorium dan potassium. Simpel log Gamma Ray memberikan nilai dari gabungan ketiga mineral tersebut, sementara Spectral Gamma Ray menunjukkan jumlah masing-masing dari ketiga komponen mineral tersebut. Kebanyakan batuan beku dan metamorf pada umumnya lebih radioaktif daripada batuan sedimen. Namun dari keseluruhan batuan sedimen, shale memberikan radiasi yang paling kuat / sangat radioaktif. 

Gambar 1. Respons dari Log Gamma Ray dan Spectral Gamma Ray pada berbagai macam tipe mineral. Gamma Ray menunjukkan besarnya nilai radioaktif, Spectral Gamma Ray menunjukkan nilai Thorium (Th)  dan Uranium (U), dalam ppm, dan Potassium (K), dalam %, F=Feldspar, M= Mica, * = Glauconite (Courtesy "The Geological Interpretation of Well Logs, Second Edition, Malcolm Rider") 

Kegunaan Log Gamma Ray

Pada umumnya secara kuantitatif log gamma ray digunakan untuk memperoleh Vshale. Sedangkan secara kualitatif, digunakan untuk korelasi antar sumur, facies dan sekuen, serta untuk mengidentifikasi litologi (shalyness). Sedangkan log spectral gamma ray dapat digunakan sebagai tambahan untuk mengetahui volume mineral radioaktif dan membuat Vshale dengan lebih akurat. Selain itu, secara kualitatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi mineral clay yang dominan, interpretasi lingkungan pengendapan, identifikasi fractures dan source rocks.

Formulasi dalam menghitung Vshale:

Vshale = (GR value (log) - GR Min) / (GRMax - Gr Min);

GRMax = 100% shale; GRMin =  0% shale / clean formation

Log Gamma Ray memiliki satuan API (American Petroleum Institute), dimana nilainya berkisar antara 0-150, walaupun terdapat juga beberapa kasus dengan nilai GR tinggi, > 150, untuk jenis organic rich shales.

Radiasi Sinar Gamma 

Radiasi alamiah berasal dari ketiga komponen mineral yang telah disebutkan diatas. Secara kuantitatif, Potassium memiliki kandungan yang paling banyak akan tetapi mempunyai kandungan berat yang paling sedikit (Tabel 1). Jumlah sepertinya berbanding terbalik dengan kontribusi energi. Jumlah yang sedikit dari uranium memberikan efek yang besar, dan begitu pula sebaliknya, jumlah yang besar dari potassium memberikan efek yang kecil.

Ketiga mineral tersebut memancarkan radiasi sinar gamma secara spontan. Mereka memancarkan photon tanpa massa dan aliran, tapi energi yang dipancarkan sangatlah besar.


Tabel 1. Aktivitas radiasi relatif dari elemen mineral radioaktif

Radiasi dari Potassium K, sangatlah berbeda, dengan energi tunggal 1.46 MeV. Baik Uranium dan Thorium, memancarkan radiasi dengan range dan peak frekuensi tertentu (Gambar 2).

Gambar 2. Spektrum emisi Gamma Ray dari tiap-tiap mineral radioaktif. 

Salah satu karakteristik dari Gamma Ray adalah ketika mereka melewati material tertentu, energinya akan secara progresif diserap. Efek ini dikenal sebagai compton scattering, yang diakibatkan oleh tumbukan antara gamma rays dengan elektron yang menghasilkan peluruhan energi. Semakin dense material yang dilewati, semakin cepat peluruhan yang terjadi.

Tool Diagram

Log Gamma Ray terdiri dari scillintation counter dan photo multiplier.  Scillintation counter berisi kristal Iodium Siodide, diameter 2 cm dan panjang 5 cm. Ketika gamma rays melewati kristal, maka akan menghasilkan cahaya dan disimpan oleh photo multiplier dan disimpan untuk jangka perioda waktu tertentu (Gambar 3).

Gambar 3. Halliburton Spectral Gamma Ray Tool

Efek Borehole yang tidak diharapkan 

Log gamma ray biasanya tidak begitu dipengaruhi oleh iregularitas skala kecil dari ukuran borehole, tapi sangat berbahaya jika terjadi caving yang besar. Efek ini bisa diakibatkan oleh meningkatnya volume lumpur pemboran, antara formasi dan gamma ray detector yang mengakibatkan meningkatnya compton scattering dan mengecilnya nilai gamma ray.  Kebanyakan logging company mempublish chart untuk mengkoreksi  ukuran borehole terhadap hubungannya dengan mud weight. Akan terjadi hal yang berbeda jika diberikan mud additive KCl, biasanya nilai Gamma Raynya akan meningkat (Gambar 4).


Gambar 4. Efek penambahan KCl pada lumpur pemboran terlihat pada nilai Gamma Ray yang meningkat pada Sumur 2, padahal Sumur 1 dan sumur 2 hanya  berjarak 3 km, seharusnya nilainya pada Formasi yang sama tidaklah berbeda jauh

Contoh Interpretasi Log Gamma Ray

Gambar 5 dibawah menunjukkan Radioactive Sand, diakibatkan kehadiran mineral "mica" di North Sea Jurassic, fine-grained shallow marine sandstones dengan 20% clay tapi terdapat 15-30% mica, terutama muscovite, yang mengakibatkan nilai Gamma Ray tinggi.
Gambar 5. Radioactive SandNorth Sea Jurassicfine-grained shallow marine sandstones

December 31, 2012

Depth Conversion

Selama beberapa tahun kebelakang, konversi waktu kedalam domain kedalaman lebih banyak menggunakan fungsi polinomial yang didapatkan dari data sumur. Setelah itu penggunaan data stacking velocity mulai digunakan, terutama untuk kasus dimana variasi lateral sangat mendominasi. Dalam beberapa tahun kebelakang penggunaan data stacking velocity sudah mulai meningkat terutama setelah adanya improvement dalam prosesing seismik dan teknik modelling numerik. 

Konversi data seismik ataupun peta struktur waktu ke domain kedalaman merupakan hal yang sangat penting dalam eksplorasi migas. Pengerjaan prognosis kedalaman merupakan hal yang kritikal, kesalahan interpretasi prognosis kedalaman dapat sangat berakibat fatal, terutama impactnya akan terjadi pada program pengeboran yang dilakukan dan keputusan ekonomis yang akan diambil.

Konversi kedalaman dari data seismik domain waktu membutuhkan suatu model kecepatan bawah permukaan. Data kecepatan ini dihasilkan dari bermacam sumber, seperti data checkshot atau VSP dan data log sonik, atau pengukuran "indirect" seperti kecepatan yang dihasilkan dari picking velocity saat processing setelah Dip Move Out (DMO). Flatspots dan data bawah permukaan lainnya dapat digunakan sebagai kontrol kecepatan.

Model kecepatan dari data sumur menggunakan persamaan yang umumnya menggambarkan perubahan kecepatan secara linear. Model kecepatan dihasilkan dari layer per layer hasil interpretasi horison seismik yang dikalibrasi terhadap sumur, semakin sedikit sumur yang digunakan sebagai kontrol, pada umumnya untuk daerah yang jauh dari kontrol sumur akan dilakukan smooth interpolation. Ketika kecepatan bervariasi secara lateral, spatial sampling dari sumur akan memberikan hasil yang bias. Stacking velocity menyediakan informasi tambahan tersebut untuk memahami perubahan kecepatan. Shallow gas sandsseabed scarps atau mud diapir akan menghasilkan strong overburden anomali kecepatan.

Depth Migration

Tidak seperti migrasi dalam kawasan waktu, migrasi dalam kawasan kedalaman mencover perubahan kecepatan secara lateral. Untuk flat overburden, perubahan kecepatan secara lateral adalah kecil, lain halnya dengan daerah dengan struktur yang kompleks.

Anomali kecepatan tinggi seperti yang biasa ditemui pada karbonat, dapat mengakibatkan pull-up velocity anomaly atau antiklin semu (Gambar 1). Atau pada daerah kecepatan rendah seperti water bottom dengan kemiringan tajam / canyon yang menghasilkan sinklin semu dapat menghasilkan peta struktur bawah permukaan yang misleading.


Gambar 1. Gambaran model bawah permukaan dalam kawasan waktu menunjukkan pada daerah yang dilingkari terlihat adanya pull-up effect atau antiklin semu yang dapat mengakibatkan munculnya struktur dalam peta bawah permukaan dan membuat horison dibawahnya terangkat dari yang seharusnya flat. Efek ini dapat dihilangkan dengan menggunakan Pre-Stack Depth Migration (PSDM).

Stacking Velocity Depth Conversion

Baik itu dalam data seismik 2D ataupun 3D, data stacking velocity hasil prosessing seismik merupakan data yang sangat penting dalam konversi kedalaman. Resolusi vertikal pada umumnya rendah sebagaimana hanya event seismik utama yang digunakan dalam picking velocity. Resolusi lateral umumnya dibatasi oleh geometri akuisisi, yang sesuai dengan kebutuhan hyperbolic moveout didalam gathers. Resolution limit pada normalnya berkisar antara 1/2 dan 1 panjang kabel, berdasarkan muting.

Saat ini dengan metoda yang lebih modern, stacking velocity dapat memprediksi model bawah permukaan dengan akurasi yang sangat tinggi, error yang tersisa adalah karena noise. Kebanyakan noise ini bukanlah random noise. Pada umumnya jika sudah ada stacking velocity, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan Correction Factor yang diperoleh dari :

Correction Factor (CF) = Pseudo velocity di sumur (well depth/seismic time) / Average stacking velocity di sumur

Selanjutnya cibuat crossplot antara Stacking Vav vs CF untuk mendapatkan fungsi CF. Fungsi ini lalu dikalikan dengan average velocity grid untuk mendapatkan corrected average stacking velocity grid to events. Ini dapat dilakukan juga dalam interval velocity menggunakan pendekatan Dix.

Beberapa metoda tersedia untuk memfilter noise dalam stacking velocity. Workflow pengerjaan untuk eliminasi noise dan kalibrasi sumur dengan menggunakan horizon consistent velocity adalah sbb:

- Sebagai efek dari kompaksi, waktu dan kecepatan saling berhubungan. Ketika mapping stacking velocity thd surface time, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan crossplot stacking velocity pada surface dalam domain waktu. Langkah berikutnya adalah dengan menerapkan fungsi persamaan yang diperoleh untuk menghasilkan velocity trend map yang mengcover efek kompaksi tsb. Perbedaan antara original horizon stacking velocity dan velocity trend map adalah residual velocity map yang menunjukkan variasi lateral.

- Selanjutnya pendekatan geostatistik dilakukan, ini mirip dengan spatial low-pass filtering. Kita menghilangkan noise-noise, yang umumnya mempunyai high-spatial frequency dan terdapat dikebanyakan sinyal.

May 28, 2012

Abadi Gas Field

Abadi Field merupakan lapangan dengan discovery pertama di Indonesia dari Formasi Middle Jurassic Plover. Ini merupakan penemuan gas yang sangat besar berlokasi 350 km sebelah timur Pulau Timor dan 350 km utara Darwin, Australia. Abadi Field terletak sebelah utara perbatasan internasional dengan Australia, dengan water depth  400-800 m. Abadi Field berada pada Blok Masela PSC dibagian timur dari Laut Timor, Indonesia bagian timur, disepanjang perbatasan internasional Indonesia - Australia (Gambar 1). Masela PSC diberikan kepada Inpex Corporation sebagai Operator dengan 100% interest pada November 1998. Namun pada July 2011, Inpex menandatangani agreement dengan Shell untuk 30% transfer participating interest. Dan saat ini PT. Energi Mega Persada (EMP) juga mempunyai kepemilikan 10% interest.

Discovery well Abadi-1 telah didrill dan selesai pada akhir 2000. Mengikuti kesuksesan discovery well, 2,060 km2 3D seismic survey diakuisisi pada 2001 dan dua sumur appraisal telah sukses didrill pada 2002.

Secara geologi, Abadi Field terdiri dari relatively undeformed Australian continental margin yang memanjang hingga perairan Indonesia. Lapangan ini terletak pada ujung timur dari Sahul Platform dan menempati larged tilted fault block yang dibatasi di sebelah timur dan selatan oleh Calder-Malita Grabens. Abadi Field mempunyai akumulasi kolom gas yang signifikan, reservoir berada pada lingkungan shallow marine, highly mature, quartzose sandstone dari Formasi Middle Jurassic Plover. Analog terdekat pada Giant Greater Sunrise dan Bayu-Undan fields. Kualitas reservoir, pada kedalaman ~3,900 m, bervariasi dari good to poor, menggambarkan interaksi kompleks dari kontrol pengendapan utama dan pengaruh diagenesis pada tahap akhir. Perkiraan cadangan awal sebesar 5 TCF.

Gambar 1. Peta lokasi dari Lapangan Gas Abadi. Garis kontur menandakan water depth (m). Lapangan gas Abadi berlokasi di Blok Masela PSC di bagian timur Laut Timor, Indonesia bagian timur, sepanjang perbatasan internasional Indonesia dan Australia. Deep Timor Trough dengan water depth lebih dari  1,500 m berada diantara outer ridge of the Banda Arc dan Blok Masela. Blok Masela berada pada area upper slope dari paparan kontinental Australia dengan water depth 300 m to 1,000 m.


Abadi field berada pada Cekungan Northern Bonaparte, di Sahul Platform sebelah timur akhir dari Sunrise-Troubadour High (Gambar 2). Ini dibatasi kesebelah timur oleh Masela Deep, yang merupakan perpanjangan kesebelah utara dari Calder Graben. The Malita Graben berada disebelah barat daya dan terdiri dari sedimen tebal Cretaceous-Tertiary. NW Trending Goulburn Graben, dengan sedimen tebal Paleozoic, berlokasi di sebelah tenggara. Timor Trough berada disebelah utara.

Kurang lebih 250 km sebelah barat Abadi, Lapangan Gas Sunrise-Troubadour (proved & probable recoverable reserves: 8.4 TCF; informasi publik dari Northern Territory Government of Australia) menempati sumbu Sunrise-Troubadour High. Lapangan Gas Evans Shoal (proved & probable recoverable reserves: 6.6 TCF; informasi publik dari Northern Territory Government of Australia) berada kurang lebih 150 km sebelah baratdaya Abadi diantara Sunrise-Troubadour High dan Malita Graben. 

Perkembangan dari Cekungan Northern Bonaparte dipengaruhi oleh rifting dan pemisahan kontinen pada middle Jurassic - early Cretaceous sepanjang margin sebelah barat laut Australia, dan pada akhirnya dimodifikasi oleh collision antara Indo-Australian dan Sunda plates dari Miocene - present (Whittam et al. 1996).

Gambar 2. Peta Tectonic elements dari Cekungan Northern Bonaparte. Abadi field berada pada Cekungan Northern Bonaparte, di Sahul Platform sebelah timur akhir dari Sunrise-Troubadour High. Ini dibatasi kesebelah timur oleh Masela Deep, yang merupakan perpanjangan kesebelah utara dari Calder Graben. The Malita Graben berada disebelah barat daya dan terdiri dari sedimen tebal Cretaceous-Tertiary (Courtesy Inpex Masela, Ltd - PROCEEDINGS, INDONESIAN PETROLEUM ASSOCIATION Twenty-Ninth Annual Convention & Exhibition, October 2003 "The Abadi Gas Field")

April 4, 2012

West Natuna Basin

West Natuna Basin berada kurang lebih diantara Malay Peninsula Basin dan Pulau Kalimantan yang terbentuk pada Intra-continental rift basin pada Sunda Platform. West Natuna Basin dibatasi oleh Pulau Anambas disebelah selatan, Natuna Arch di arah timur, dan Khorat Swell di bagian utara (Gambar 1). Banyak oil company seperti Conoco Phillips, Premier Oil, Gulf, Genting Oil, hingga Petronas yang telah melakukan eksplorasi hingga berhasil memproduksi hidrokarbon.

Gambar 1. Physiography of West Natuna Basin (Courtesy Pertamina BPPKA, 1996)

West Natuna Basin terbentuk kurang lebih sama seperti kebanyakan basin di Indonesia bagian barat yaitu pada masa Eocene dan dicirikan oleh SW-NE half-graben rifting (Gambar 2). Periode tectonic quiescence terjadi pada Mid Oligocene - Early Miocene dan diikuti oleh basin subsidence dimana sedimen seperti Keras dan Upper Gabus diendapkan dengan baik. Tectonic inversion terjadi pada Middle Miocene dan dicirikan oleh unconformity dari Formasi Barat dan Formasi Intra Arang. Inversi yang sangat signifikan terjadi di area bagian utara dari West Natuna Basin, saat itu tidak terjadi pada area utama. Regional gentle subsidence terjadi pada Middle Miocene saat Formasi Muda diendapkan. Sedangkan subsidence maksimum terjadi dekat perbatasan Malaysia-Indonesia.

 Gambar 2. Basin Evolution of West Natuna Basin (Ilona, 2006)

Benua/Lama shale, Keras dan Formasi Barat dikenal sebagai source rock yang baik (Gambar 3). Kebanyakan dari Formasi tersebut dikelompokkan kedalam tipe I Kerogen dari lacustrine shale. Pada cekungan ini, oil window dibentuk pada kedalaman 7000 ft. Lower Gabus Sandstones dikenal sebagai reservoir dengan ketebalan bervariasi antara 15-350 ft dan porositas 10-27%. Gabus sandstones merupakan contoh reservoir di Lapangan Anoa dan KF. Upper Gabus sandstones merupakan reservoir utama dari kebanyakan lapangan di West Natuna Basin yang diendapkan pada distributaries channel, channel bars, dan crevasse splay. Barat shale melapisi Formasi Upper Gabus yang mana lebih sandy pada bagian utara dan dikenal sebagai Intra-Barat sandstone. Lower Arang juga menjadi reservoir yang penting dengan porositas sangat baik antara 26%-32% yang ditemui di Lapangan Belida, Belut, dan Kakap. Middle Arang sandstone mempunyai porositas hingga 32%, dan pada umumnya merupakan reservoir yang baik. Barat shale merupakan effective regional seal rock untuk Lower Gabus Sandstone. Ketebalan yang besar terbentuk pada bagian tengah dari basin dan menerus hingga Malay Basin hingga ke barat (hingga 1000 ft). Penyebaran yang luas dari Arang shale juga menyediakan effective regional seal rock untuk Lower Arang Sandstone. Perangkap antiklin merupakan perangkap favorit dikarenakan regime tectonic inversion. Perangkap Stratigrafi ditemukan di lapangan Belida sebagai crevasse splay dan stratigraphic pinch-out. Kombinasi dari perangkap struktur dan stratigrafi juga ditemukan pada sesar normal di sepanjang bagian selatan dari basin.

 Gambar 3. Tectonostratigraphy of West Natuna Basin

January 3, 2012

Barito Basin

Lapangan Tanjung berlokasi di Barito Basin, SE Kalimantan, Indonesia (Figure 1). Ditemukan pada 1938, tapi belum berproduksi penuh hingga terhubung ke pipeline di tahun 1962. Saat bagian dalam dari sumur Tanjung-1 tested light oil dari Formasi Lwr Tanjung. Lapangan Tanjung mempunyai STOOIP 600 MMBO dan cadangan terbukti ~160 MMBO, dengan recovery factor 27%. Pada tahun 2000, Lapangan Tanjung telah mencapai total produksi ~136 MMBO (22.7% recovery factor). Target pada Lapangan Tanjung terdapat pada kedalaman dangkal (650-1500 m TVDSS) overthrust anticline dalam tujuh bagian utama, vertically stacked reservoirs, dimana bagian dalamnya terdiri dari fractured granitic basement. Mayoritas cadangan terdapat pada Formasi Lwr Tanjung, transgressive interval dari synrift hingga early postrift alluvial-fan, fluvial, delta plain dan shallow marine facies.


Figure 1. Lokasi dari Lapangan Tanjung, Barito Basin, SE Kalimantan, Indonesia (dimodifikasi dari Kusum dan Darin, 1989)

Lapangan Tanjung dibatasi kesebelah timur oleh Meratus Complex, a NNE-trending belt of deformed Cretaceous arcrelated volcanics dan batuan sedimen, granit, dan ofiolit. Barito Basin dipisahkan dari bagian dalam Kutai Basin ke sebelah utara dengan major sinistral strikeslip structure yang dikenal dengan Adang Fault (Figure 2). Barito Basin mendangkal kearah barat, melewati undeformed Barito Shelf, dan slopes kearah selatan hingga Laut Jawa.

Figure 2. Elemen tektonik utama dari Barito Basin (Bon et al., 1996). Lapangan Tanjung berada pada bagian utara Barito Basin, ke sebelah barat dari Meratus Complex.

Barito Basin terbentuk pada Mid Cretaceous sebagai back-arc basin, berhubungan dengan oceanic subduction ke arah barat sepanjang margin timur Kalimantan. Arc-continent collision pada akhir Cretaceous menghasilkan uplift dari Meratus Complex dan sinistral strike-slip sepanjang Meratus Wrench Zone (Figure 3).

Figure 3. Barito Basin NW-SE cross-sections (Bon et al., 1996).

December 13, 2011

Kutai Basin

Cekungan Kutai merupakan cekungan tersier terdalam di Indonesia dengan ketebalan sedimen yang diendapkan sekitar 14000 meter pada bagian depocentrenya. Pada bagian utara Cekungan Kutai terdapat punggungan Mangkalihat yang memisahkan cekungan ini dengan Cekungan Tarakan. Di bagian barat, Cekungan Kutai di batasi oleh Tinggian Kuching dan di selatan dibatasi oleh Punggungan Paternoster yang juga membatasinya dengan Cekungan Barito. Cekungan Kutai terbuka ke arah laut di sebelah timur.

Figure 1. Basement Depth Structure Map

Di Cekungan Kutai, gaya struktur saat ini terutama dicirikan oleh jalur-jalur lipatan dan sesar yang sejajar berarah SSW-NNE atau N-S dari daratan sampai lepas pantai. Jalur-jalur ini terkenal sebagai Jalur Antiklinorium Samarinda yang paralel dengan garis pantai saat ini. Relief struktur semakin melemah ke arah lepas pantai. Di lepas pantai, ciri struktur kompresi yang berhubungan dengan ekstensi karena progradasi delta semakin menonjol. Asal kejadian Antiklinorium Samarinda telah menjadi bahan pemikiran dan perdebatan sejak lama (Figure 2). Beberapa mekanisme yang terjadi yaitu: akibat seretan dua sesar mendatar besar yang mengapit Cekungan Kutai, akibat tekanan diapir dari bawah, akibat tekanan dari benturan mikrokontinen di sebelah timur Sulawesi pada Neogen, dan akibat tektonik gravitasi berhubungan dengan pengangkatan Tinggian Kuching pada Early Miocene di sebelah barat Cekungan Kutai (gliding tectonics). Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa asal struktur ini adalah kombinasi antara gliding tectonics dan progradasi delta (Satyana, 2006). Basement diinterpretasi (Guritno dan Chambers, 1999) terdiri dari Jurassic hingga Cretaceous Oceanic Crust dan ditutupi oleh sequence turbidit yang tebal.

Figure 2. Sedimen delta mendominasi gaya sedimentasi Cekungan Kutei. Antiklinorium Samarinda terutama terdapat di bagian daratan, membentuk lapangan-lapangan seperti Lapangan Mutiara. Ke arah laut, struktur didominasi oleh sesar ekstensi yang berhubungan dengan progradasi delta (Satyana, 2006).

Di Cekungan Kutai, hampir semua jalur antiklin di Jalur Antiklinorium Samarinda dari daratan ke lepas pantai, baik yang tersesarkan maupun yang tidak, menjadi lapangan-lapangan minyak dan gas. Lapangan-lapangan minyak dan gas masih ditemukan sampai ke laut dalam yang sudah masuk ke Cekungan Selat Makassar Utara dengan perangkap berupa toe-thrust di lereng paparan dan kipas laut dalam di dasar cekungan (Satyana, 2006).

Figure 3. Kalimantan, "Rumahnya" Delta Tersier

Major deltaic petroleum system telah menghasilkan 11 BBOE untuk cadangan terbukti (Figure 3). Tumpukan Neogene delta juga menyediakan batuan induk (delta-top dan delta-front coals dan shallow marine coaly shales) yang merupakan oil dan gas prone, carrier beds (channel sands), dan Miocene-Pliocene reservoir dari Formasi Balikpapan, Kampung Baru, dan Mahakam termasuk channel dan mouth-bar sands dan delta-front turbidites.

Stratigrafi

Sedimentasi tersier di cekungan Kutai dimulai dengan perioda transgresi pada masa Eocene dan berakhir pada masa Oligocene. Fasa transgresi mengendapkan sedimen formasi Mangkupa, Beriun, Kedango dan Pamaluan. Formasi Pamaluan yang didominasi oleh serpih marin dipercaya sebagai batuan induk yang potensial menghasilkan hidrokarbon (Mamuaya et. al, 1995).


Setelah pengangkatan tinggian Kuching pada masa Miocene Awal, pola sedimentasi berubah dari fasa transgresi menjadi fasa regresi dari barat ke timur. Pengendapan selama fasa regresi berlanjut hingga Tersier Akhir ketika sebuah perioda transgresi dimulai pada kala Late Miocene. Batuan regresi didominasi oleh sedimen deltaic dari formasi Pulubalang, Balikpapan dan Kampung Baru. Formasi – formasi ini merupakan reservoir yang produktif.

Bagian bawah dari formasi Balikpapan terdiri dari batuan serpih dengan sekali – sekali muncul batupasir yang diendapkan di prodelta pada lingkungan lingkungan pengendapan sublittoral – littoral bagian dalam. Pada bagian tengah formasi Balikpapan terdiri dari perselingan serpih dan batupasir yang diendapkan di delta front pada lingkungan pengendapan littoral. Bagian atas formasi Balikpapan terdiri dari perselingan serpih, batupasir dan lignite/batubara, yang diendapkan di paparan delta pada lingkungan pengendapan supralittoral – littoral.

Figure 4. Kalimantan Basin Stratigraphic Column (IPA Atlas, 1999)

December 12, 2011

Analisa Well Log dan Data seismik menggunakan Rock Physics Templates

Rock Physics adalah bagian integral dala analisa data seismik dan penting dalam subsitusi fluida dan lithologi,untuk modelling AVO, dan untuk interretasi elastic inversion. Melalui Paper Erik Ødegaard and Per Avseth "Well Log Data and Seismic Data Analysis using Rock Physics Templates", kita akan coba membahas bersama-sama masalah tersebut, yaitu bagaimana Rock Physics Templates (RPTs) sebagai toolbox interpretasi data well log untuk lithologi dan fluida pori dan elastic inversion.

Rock Physics Templates
Contoh well log yang digambarkan pada Figure 1 dibawah menggambarkan problem dari interpretasi rock physics. Gambar tersebut menunjukkan log Acoustic Impedance (AI) dan log Vp/Vs untuk interval 100 m, dan AI vs Vp/Vs crossplot dengan color key Gamma Ray. Terdapat empat populasi yang ada pada crossplot, dan litologi dapat dipisahkan berdasarkan tambahan informasi log: dua shale yang berbeda, gas sand dan brine sand. Interpretasi crossplot akan lebih sulit tanpa tambahan informasi log, dan ini biasanya merupakan tipikal untuk elastic inversion. Ini merupakan motivasi dibalik Rock Physics Templates. Disamping kita bisa menggunakan tambahan informasi data well log, juga dapat digunakan rock physics trends untuk litologi yang berbeda disuatu area.

Figure 1. Log AI dan Vp/Vs (kiri) dan AI vs Vp/Vs cross-plot (kanan). Color pada log didasarkan pada populasi yang berasal dari crossplot, dan color key pada crossplot menggunakan log Gamma Ray.

Pembuatan Rock Physics Templates didasarkan pada analisa rock physics oleh para ahli yang cukup familiar dengan model rock physics dan teorinya. Saat para expert menghitung dan membuat RPT, para pengguna dapat membuat RPT yang tepat untuk zona dan area of interest, dan membuat interpretasi elastic inversion tanpa pemahaman yang cukup mengenai teori rock physics. Jika kompilasi dari RPT yang relevan sudah tersedia untuk area penelitian, maka workflow yang ideal adalah terdiri dari dua prosedur:
  • Menggunakan data well log untuk memverifikasi validitas dari RPT (jika tidak ada RPT yang tersedia sebelumnya, pengguna harus menyediakan input geologi, sehingga RPT yang baru dapat dibuat).
  • Menggunakan RPT yang dipilih untuk interpretasi elastic inversion.
Figure 2: Rock Physics Template (RPT) pada crossplot AI vs Vp/Vs termasuk model rock physics yang secara lokal diconstrained oleh kedalaman (i.e tekanan), mineralogy, porositas, dan fluid properties. Template ini termasuk tren porositas untk litologi yang berbeda, dan meningkatnya saturasi gas untuk sands (diasumsikan saturasi seragam). Panah hitam menunjukkan variasi tren geologi (yang secara konseptual) : 1) meningkatnya shaliness, 2) meningkatnya volume sementasi, 3) meningkatnya porositas, 4) berkurangnya effective pressure, dan 5) meningkatnya saturasi gas.