December 13, 2011

Kutai Basin

Cekungan Kutai merupakan cekungan tersier terdalam di Indonesia dengan ketebalan sedimen yang diendapkan sekitar 14000 meter pada bagian depocentrenya. Pada bagian utara Cekungan Kutai terdapat punggungan Mangkalihat yang memisahkan cekungan ini dengan Cekungan Tarakan. Di bagian barat, Cekungan Kutai di batasi oleh Tinggian Kuching dan di selatan dibatasi oleh Punggungan Paternoster yang juga membatasinya dengan Cekungan Barito. Cekungan Kutai terbuka ke arah laut di sebelah timur.

Figure 1. Basement Depth Structure Map

Di Cekungan Kutai, gaya struktur saat ini terutama dicirikan oleh jalur-jalur lipatan dan sesar yang sejajar berarah SSW-NNE atau N-S dari daratan sampai lepas pantai. Jalur-jalur ini terkenal sebagai Jalur Antiklinorium Samarinda yang paralel dengan garis pantai saat ini. Relief struktur semakin melemah ke arah lepas pantai. Di lepas pantai, ciri struktur kompresi yang berhubungan dengan ekstensi karena progradasi delta semakin menonjol. Asal kejadian Antiklinorium Samarinda telah menjadi bahan pemikiran dan perdebatan sejak lama (Figure 2). Beberapa mekanisme yang terjadi yaitu: akibat seretan dua sesar mendatar besar yang mengapit Cekungan Kutai, akibat tekanan diapir dari bawah, akibat tekanan dari benturan mikrokontinen di sebelah timur Sulawesi pada Neogen, dan akibat tektonik gravitasi berhubungan dengan pengangkatan Tinggian Kuching pada Early Miocene di sebelah barat Cekungan Kutai (gliding tectonics). Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa asal struktur ini adalah kombinasi antara gliding tectonics dan progradasi delta (Satyana, 2006). Basement diinterpretasi (Guritno dan Chambers, 1999) terdiri dari Jurassic hingga Cretaceous Oceanic Crust dan ditutupi oleh sequence turbidit yang tebal.

Figure 2. Sedimen delta mendominasi gaya sedimentasi Cekungan Kutei. Antiklinorium Samarinda terutama terdapat di bagian daratan, membentuk lapangan-lapangan seperti Lapangan Mutiara. Ke arah laut, struktur didominasi oleh sesar ekstensi yang berhubungan dengan progradasi delta (Satyana, 2006).

Di Cekungan Kutai, hampir semua jalur antiklin di Jalur Antiklinorium Samarinda dari daratan ke lepas pantai, baik yang tersesarkan maupun yang tidak, menjadi lapangan-lapangan minyak dan gas. Lapangan-lapangan minyak dan gas masih ditemukan sampai ke laut dalam yang sudah masuk ke Cekungan Selat Makassar Utara dengan perangkap berupa toe-thrust di lereng paparan dan kipas laut dalam di dasar cekungan (Satyana, 2006).

Figure 3. Kalimantan, "Rumahnya" Delta Tersier

Major deltaic petroleum system telah menghasilkan 11 BBOE untuk cadangan terbukti (Figure 3). Tumpukan Neogene delta juga menyediakan batuan induk (delta-top dan delta-front coals dan shallow marine coaly shales) yang merupakan oil dan gas prone, carrier beds (channel sands), dan Miocene-Pliocene reservoir dari Formasi Balikpapan, Kampung Baru, dan Mahakam termasuk channel dan mouth-bar sands dan delta-front turbidites.

Stratigrafi

Sedimentasi tersier di cekungan Kutai dimulai dengan perioda transgresi pada masa Eocene dan berakhir pada masa Oligocene. Fasa transgresi mengendapkan sedimen formasi Mangkupa, Beriun, Kedango dan Pamaluan. Formasi Pamaluan yang didominasi oleh serpih marin dipercaya sebagai batuan induk yang potensial menghasilkan hidrokarbon (Mamuaya et. al, 1995).


Setelah pengangkatan tinggian Kuching pada masa Miocene Awal, pola sedimentasi berubah dari fasa transgresi menjadi fasa regresi dari barat ke timur. Pengendapan selama fasa regresi berlanjut hingga Tersier Akhir ketika sebuah perioda transgresi dimulai pada kala Late Miocene. Batuan regresi didominasi oleh sedimen deltaic dari formasi Pulubalang, Balikpapan dan Kampung Baru. Formasi – formasi ini merupakan reservoir yang produktif.

Bagian bawah dari formasi Balikpapan terdiri dari batuan serpih dengan sekali – sekali muncul batupasir yang diendapkan di prodelta pada lingkungan lingkungan pengendapan sublittoral – littoral bagian dalam. Pada bagian tengah formasi Balikpapan terdiri dari perselingan serpih dan batupasir yang diendapkan di delta front pada lingkungan pengendapan littoral. Bagian atas formasi Balikpapan terdiri dari perselingan serpih, batupasir dan lignite/batubara, yang diendapkan di paparan delta pada lingkungan pengendapan supralittoral – littoral.

Figure 4. Kalimantan Basin Stratigraphic Column (IPA Atlas, 1999)

December 12, 2011

Analisa Well Log dan Data seismik menggunakan Rock Physics Templates

Rock Physics adalah bagian integral dala analisa data seismik dan penting dalam subsitusi fluida dan lithologi,untuk modelling AVO, dan untuk interretasi elastic inversion. Melalui Paper Erik Ødegaard and Per Avseth "Well Log Data and Seismic Data Analysis using Rock Physics Templates", kita akan coba membahas bersama-sama masalah tersebut, yaitu bagaimana Rock Physics Templates (RPTs) sebagai toolbox interpretasi data well log untuk lithologi dan fluida pori dan elastic inversion.

Rock Physics Templates
Contoh well log yang digambarkan pada Figure 1 dibawah menggambarkan problem dari interpretasi rock physics. Gambar tersebut menunjukkan log Acoustic Impedance (AI) dan log Vp/Vs untuk interval 100 m, dan AI vs Vp/Vs crossplot dengan color key Gamma Ray. Terdapat empat populasi yang ada pada crossplot, dan litologi dapat dipisahkan berdasarkan tambahan informasi log: dua shale yang berbeda, gas sand dan brine sand. Interpretasi crossplot akan lebih sulit tanpa tambahan informasi log, dan ini biasanya merupakan tipikal untuk elastic inversion. Ini merupakan motivasi dibalik Rock Physics Templates. Disamping kita bisa menggunakan tambahan informasi data well log, juga dapat digunakan rock physics trends untuk litologi yang berbeda disuatu area.

Figure 1. Log AI dan Vp/Vs (kiri) dan AI vs Vp/Vs cross-plot (kanan). Color pada log didasarkan pada populasi yang berasal dari crossplot, dan color key pada crossplot menggunakan log Gamma Ray.

Pembuatan Rock Physics Templates didasarkan pada analisa rock physics oleh para ahli yang cukup familiar dengan model rock physics dan teorinya. Saat para expert menghitung dan membuat RPT, para pengguna dapat membuat RPT yang tepat untuk zona dan area of interest, dan membuat interpretasi elastic inversion tanpa pemahaman yang cukup mengenai teori rock physics. Jika kompilasi dari RPT yang relevan sudah tersedia untuk area penelitian, maka workflow yang ideal adalah terdiri dari dua prosedur:
  • Menggunakan data well log untuk memverifikasi validitas dari RPT (jika tidak ada RPT yang tersedia sebelumnya, pengguna harus menyediakan input geologi, sehingga RPT yang baru dapat dibuat).
  • Menggunakan RPT yang dipilih untuk interpretasi elastic inversion.
Figure 2: Rock Physics Template (RPT) pada crossplot AI vs Vp/Vs termasuk model rock physics yang secara lokal diconstrained oleh kedalaman (i.e tekanan), mineralogy, porositas, dan fluid properties. Template ini termasuk tren porositas untk litologi yang berbeda, dan meningkatnya saturasi gas untuk sands (diasumsikan saturasi seragam). Panah hitam menunjukkan variasi tren geologi (yang secara konseptual) : 1) meningkatnya shaliness, 2) meningkatnya volume sementasi, 3) meningkatnya porositas, 4) berkurangnya effective pressure, dan 5) meningkatnya saturasi gas.

October 26, 2011

Assessment of Phase and Polarity

Saat ini kebanyakan interpreter memilih menggunakan data zero-phase. Alasannya dalam memilih untuk menggunakan data zero-phase adalah:

(1) Wavelet yang simetris dengan energi mayoritas terkonsentrasi di central lobe;

(2) Bentuk wavelet meminimalisir amibguitas yang berhubungan dengan bentuk gelombang dengan interface bawah permukaan;

(3) Trek horizon yang digambar pada tengah waveforms berhubungan dengan traveltime hingga subsurface interface yang mengakibatkan timbulnya refleksi;

(4) Amplitudo maksimum terjadi pada center dari waveforms dan ini berhubungan dengan time horizon, dan

(5) Resolusi lebih baik daripada wavelet lainnya dengan kandungan frekuensi yang sama.

Banyak pengolahan data penelitian telah dikhususkan untuk processing wavelet, yang dapat didefinisikan sebagai pengganti wavelet sumber, respon penerima, dan efek filtering bumi dari wavelet yang dikenal dan diinginkan. Wood (1982) menguraikan prinsip-prinsip pengolahan wavelet dan sifat dari wavelet zero-phase; Kallweit dan Wood (1982) membahas penyelesaian masalah tersebut. Saat ini, terutama yang memiliki tujuan stratigrafi, ingin dapat menilai apakah data yang diberikan adalah benar deconvolvusi ke kondisi zero-phase. Hal ini dapat dilakukan dengan banyak cara. Cross-correlation dari sintetik seismogram dengan trace seismic pada lokasi sumur adalah suatu teknik yg dapat dilakukan. Tapi apa pun yang dilakukan, penafsir sekarang perlu untuk meningkatkan kesadaran akan zero-phaseness dan kemampuan untuk mengenali datanya.

Memahami fase wavelet memberikan pentingnya untuk memahami polaritas. Untuk pengolahan data seismik, konvensi polaritas kadang membingungkan, dan di samping perlunya memperkenalkan color display dalam penggunaan color. Dalam menyajikan interpretasi menggunakan bagian berwarna, isu kritis adalah untuk mengkomunikasikan polaritas dan penggunaan warna untuk data. Tidaklah begitu penting konvensi apa yang digunakan karena peak dan trough sama-sama terlihat pada color display.

American Polarity lebih disukai di Amerika, tetapi tidak berarti universal di wilayah ini. European Polarity lebih disukai di Eropa dan di seluruh dunia tapi sekali lagi tidak berarti universal. Jika kita rajin untuk selalu menggunakan biru untuk amplitudo positif dan merah untuk amplitudo negatif, maka hanya ada dua pilihan tetap. Apakah American Polarity atau European Polarity, ini harus dipahami !!!

American and European Polarity Convention
(Courtesy Alistair Brown, AAPG Memoir 42 " Interpretation of 3D Seismic Data")


Gambar dibawah menunjukkan strong water bottom reflection di deep water yang menunjukkan waveform simetris, juga mengindikasikan zero-phaseness. Pada Top Seamount, penilaian fasa sedikit ambigu namun panah merah membuktikan bahwa data ini zero-phase.

(Courtesy Conoco, Inc)

August 18, 2011

Petroleum Systems of Indonesia

Indonesia terdiri dari berbagai macam cekungan Tersier, dengan beberapa diantaranya telah terbukti menjadi sangat produktif memproduksi minyak dan gas. Berbagai macam studi dan penelitian mengenai petroleum system hingga tahap umum dalam evolusi geologi dari cekungan synrift hingga postrift dan diklasifikasikan dengan sesuai. Terdapat empat jenis Petroleum System (PSTs) yang sesuai dengan empat tahap utama pembentukan cekungan secara geodinamika, dan dikembangkan dalam cekungan yang bervariasi tergantung pada sejarah lingkungan pengendapan (i) oil-prone Early Synrift Lacustrine PST, ditemukan pada Eocene - Oligocene dibagian dalam dari synrift graben, (ii) oil and gas-prone Late Synrift Transgressive Deltaic PST, bertempat pada bagian lebih dangkal dari Oligocene - Early Miocene synrift grabens, (iii) gas-prone Early Postrift Marine PST, karakteristik dari periode Early Miocene transgressivene diatasnya, dan (iv) oil and gas-prone Late Postrift Regressive Deltaic PST, membentuk cekungan dangkal dari Late tertiary.

Peta lokasi Cekungan Indonesia, dikelompokkan berdasarkan volume cadangan. Jika kurang dari 10 MMBOE tidak terkandung Petroleum System.

Cekungan Sedimen Indonesia membentuk inti dari sebuah family cekungan Tersier yang berkembang diseluruh Asia Tenggara. Meskipun mereka mungkin sedikit berbeda umur, mereka berbagi banyak karakteristik: hampir semua dari mereka melewati early tertiary synrift hingga late Tertiary postrift, mereka semua hampir memiliki land–plant and/or lacustrine–algal charge system.

Pada hampir seluruh cekungan, terdapat empat tahapan evolusi tektonostratigrafi :

1. Early Synrift (Eocene-Oligocene) — sesuai dengan periode pembentukan rift graben dan diikuti dengan perioda maksimum subsidence. Sering pengendapan terbatas hingga awal pembentukan half-graben.

2. Late Synrift (Late Oligocene-Early Miocene) — sesuai dengan periode menurunnya graben subsidence, saat elemen-elemen individu rift digabungkan membentuk dataran luas yang diisi oleh sedimen.

3. Early Postrift (Early-Middle Miocene) — sesuai dengan periode tectonic quiescence diikuti marine transgression yang menutupi existing topografi graben-horst.

4. Late Postrift (Middle Miocene-Pliocene) — sesuai dengan periode inversi dan lipatan, selama delta regresif terbentuk.

Chronostratigraphy Cekungan minyak Indonesia, menunjukkan tahapan, tectonic background, geodynamic events. Seafloor spreading events dan continental collisions dari Longley (1997).

April 11, 2011

Hydrocarbon Traps

Trap/perangkap hidrokarbon dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : perangkap struktur, perangkap stratigrafi, atau kombinasi keduanya.

Perangkap struktur dibagi lagi menjadi fold traps, traps associated with traps, traps associated with pearcement faults, dan perangkap kombinasi yang memerlukan element baik fault maupun fold untuk keefektifan.

Perangkap stratigrafi dibagi menjadi primary atau depositional traps, traps associated with unconformities (baik diatas maupun dibawah event unconformity), dan secondary atau diagenetic traps.

Trap didefinisikan sebagai susunan geometris batuan, yang dengan mengabaikan asal, dapat mengalirkan akumulasi minyak atau gas secara signifikan, ataupun keduanya, dibawah permukaan (dimodifikasi dari North, 1985). Meskipun kita mendefinisikan trap sebagai konfigurasi geometris batuan yang mengandung hidrokarbon, beberapa komponen kritis harus terdapat agar trap menjadi efektif, termasuk batuan reservoir yang cukup dalam menyimpan hidrokarbon dan seals untuk menjaga agar hidrokarbon tidak keluar dari perangkap.

Proses pembentukan hidrokarbon dan proses pembentukan trap merupakan sesuatu yang terpisah dan umumnya terjadi pada waktu yang berbeda. Timing untuk proses pembentukan trap merupakan hal yang penting dalam studi petroleum system karena trap harus terbentuk sebelum proses pembentukan hidrokarbon.

Jenis-Jenis Perangkap Stuktur (A) Fold (B) Fault (C) Piercement (D) Combination Fold-Fault (E) dan (F) Subunconformities. Situasi seperti gambar (E) tidak termasuk kedalam kategori perangkap strukur.

March 30, 2011

Fenomena Tuning pada Reservoir

Tuning Phenomena merupakan hal yang sangat penting bagi seorang interpreter. Fenomena ini diakui sebagai akibat dari geometri lapisan yang bervariasi dalam sifat medium akustik. Gambar 1 menunjukkan sedimentary pod. Dimana refleksi dari Top dan Base datang bersama-sama (kotak hitam) amplitudo meningkat secara tiba-tiba; ini ditafsirkan sebagai tuning antara refleksi Top dan Base.

Gambar 1. Amplitude bertambah saat refleksi top dan base bertemu dikarenakan fenomena tuning (Courtesy Petroleo Brasileiro)

Konvergensi refleksi di sekitar tepi reservoir adalah normal. Gambar 2 menunjukkan fenomena tuning dalam amplitudo dan waktu yang terjadi antara refleksi top reservoir dan refleksi kontak fluida dekat batas downdip reservoir tersebut. Pada Tuning Thickness amplitudo maksimal (untuk kontras akustik yang diberikan), dan untuk bagian reservoir yang lebih tipis amplitudo akan berkurang. Tuning Thickness juga merupakan pendekatan terdekat dari dua wavelet seismik, sehingga, saat reservoir tipis, refleksi seismik tidak akan lagi bertepatan dengan reservoir interfaces. Untuk data zero-phase, divergensi ini akan dibuang simetris antara refleksi top reservoir dan kontak fluida, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Efek Tuning baik pada amplitudo dan waktu berlaku untuk wavelet zero-phase untuk model thining wedge seperti terjadi antara refleksi Top reservoir dan kontak fluida dekat batas downdip reservoir.

Batas visibilitas seismik ditunjukkan pada Gambar 2 dianggap lebih rinci. pada Gambar 3. Untuk reservoir dengan kontras akustik yang lebih tinggi dengan media embedding, bagian tipis dari reservoir akan terlihat, ketebalan yang tepat tergantung pada level noise dalam data dan sifat dari wavelet. Mengingat situasi umum pada Reservoir Klastik Tersier, refleksi top reservoir dan kontak fluida mempunyai besaran amplitudo yang sama dan berlawanan dalam polaritas, batas downdip tidak terlihat tetapi dapat ditemukan oleh ekstrapolasi gradien amplitudo ke nol seperti diamati antara tuning thickness dan limit of visibility.

Gambar 3. Batas visibilitas seismik tergantung pada kontras akustik reservoir interfaces, noise level dan bentuk wavelet. (After Meckel dan Nath, 1977).

February 15, 2011

Invasion Drilling Process

Variasi sifat batuan yang disebabkan oleh invasi lumpur pengeboran ke dalam batuan memegang peranan penting dalam analisis petrofisika.

Dalam kondisi ideal, tekanan yang diberikan oleh kolom lumpur pemboran akan sedemikian rupa sehingga ketika menemui formasi porous dan permebale, saat bor memasuki formasi, lumpur akan dipaksa masuk ke dalamnya. Batuan yang porous selanjutnya akan bertindak sebagai filter, memisahkan lumpur kedalam bentuk padat dan cair. Mud filtrate (air yang digunakan untuk mencampurnya dengan lumpur) akan mengalir kedalam formasi, sedangkan komponen padat (lumpur) akan membentuk endapan disekitar dinding borehole setelah melewati bit.

Awalnya, saat bit memasuki porous formation, ketidakseimbangan dan filtrasi dinamis terjadi. Artinya, di bawah dan sekitar bit, terdapat aliran filtrasi terus menerus dalam formasi, asalkan tentu saja tekanan lumpur sudah cukup. Secara bertahap, saat mud cake builds up, akan membuat barrier/penghalang sehingga gerakan fluida berkurang, sampai akhirnya mud cake menjadi impermeable dan filtrasi berhenti.

Mud cake bertindak sebagai sealing agent yang memperlambat invasi. Akibatnya, zona permeabilitas tinggi yang memungkinkan akumulasi cepat mud cake, kurang terinvasi dan daerah permeabilitas yang rendah paling banyak terinvasi, dan zona non-permeabel tidak terinvasi. Ini terdengar berlawanan dengan intuisi, tapi itulah yang terjadi dari kualitas lumpur pemboran yang baik. Rendahnya kualitas dari lumpur tidak dapat membentuk mud cake, dan invasi akan sebanding dengan permeabilitas.

Invasion Profile

Fenomena penggantian fluida formasi oleh mud filtrate karena perbedaan tekanan dinamakan invasi. Invasi mempengaruhi formasi porous dan permeable di sekitar lubang bor. Hal ini dijelaskan oleh 'kedalaman' atau 'diameter' invasi, yaitu jarak yang dicapai oleh invasi filtrate sehubungan dengan lubang bor. Secara umum, invasi sangat kecil dalam formasi yang porous dan permeable, mud cake terbentuk dengan cepat untuk memblokir filtrasi dinamis. Sebaliknya adalah kasus di zona impermable, pembentukan vuggy carbonates atau fractured formation, dimana pembentukan mud cake lambat dan invasi mungkin sangat dalam, sampai beberapa meter.

Invasi berlebihan adalah situasi terburuk untuk logging dan membuat real formation fluids terlalu jauh dari lubang bor akan terdeteksi, bahan kimia ditambahkan kedalam lumpur pengeboran untuk mengurangi water loss dengan membuat mud cake pelindung secepat mungkin. Produk seperti lignusulphonates dan starch biasanya digunakan.

Schematic of Invasion and Mud-cake build up as porous formation is penetrated (Modified from Dewan, 1983)

Karena kedalaman investigasi alat logging yang bervariasi, pengetahuan tentang profil invasi diperlukan dalam membuat asumsi tentang metode analisis log dan parameternya. Hal ini terkadang dapat disimpulkan dari hubungan antara profil shallow, medium dan depth resistivity pada zona permeable water.

Zona paling dekat dengan sumur, atau flushed zone, adalah bagian dari batuan dimana jumlah maksimum perpindahan dan pencampuran terjadi. Keseimbangan dari invaded zone kadang-kadang disebut zona transisi, di mana transisi antara maximum flushing dan tidak adanya invasi terjadi. Ini agak membingungkan, karena mungkin ada transisi zona vertikal antara minyak dan free water dalam reservoir, sehingga kita menghindari penggunaan zona transisi dalam deskripsi profil invasi.

Mayoritas menunjukkan log porositas membaca di flushed zones dan sebagian dari invaded zones, seperti halnya Gamma Ray, SP dan resistivity log. Micrologs membaca terutama di flushed zone. Residual hidrokarbon pada flushed dan invaded zones, terutama gas, akan mempengaruhi all shallow investigation logs.

Drilling Fluid Invasion Model (Courtesy Crain's Petrophysical Handbook)